Sejarah Perkembangan Kesenian Wayang
Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.
Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem ceritera wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.
Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.
Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan. Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma ( 1433 / 1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.
Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di-buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbauini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.
Pada masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir / layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun disana- sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.
Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.
Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata Gedog berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari Kudawanengpatiatau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.
Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris.
Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.
Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma ( 1552 J / 1670 M ). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal: ( 1553 J / 1671 M ). Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang Klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari ceritera Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.
Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit.
Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah ; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang / Kediri.
Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.
Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 - 1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.
Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh.
Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari.
Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya .
Wayang Potehi, dari China ke Jawa
Di tengah perayaan Imlek yang semakin berwarna, wayang potehi muncul
sebagai salah satu ikon seni tradisional China. Lakon wayang diandalkan
untuk mewariskan nilai leluhur kepada generasi muda. Uniknya, saat terancam
punah, seni ini justru ditopang beberapa dalang yang orang Jawa asli.
Wayang potehi berbentuk boneka seperti wayang golek yang dibungkus
kantong kain. Lakon dimainkan satu dalang dengan dibantu satu asisten.
Tangan dalang dimasukkan dalam kantong untuk menggerakkan wayang dengan
jari. Sekitar tiga orang menabuh gamelan yang "gembrang-gembreng" dan agak
monoton.
Wayang potehi biasa digelar di kelenteng pada sore atau malam hari
sebagai pengiring upacara atau perayaan Imlek. Namun, menjelang Imlek
sekarang ini, sulit mencari pertunjukan wayang itu di Jakarta. Bisa
dikatakan, memang sudah tidak ada lagi kelompok wayang dan dalang di sini.
Jika pun ada pergelaran, dalang dan pemusik didatangkan dari daerah.
"Saya diundang untuk main di Jakarta dan Cilincing. Rencana minggu ini, tapi
diundur sampai minggu depan karena banjir," kata Subur (45), salah satu
dalang wayang potehi asal Sidoarjo, Jawa Timur.
Subur belajar mendalang sekitar 10 tahun dari dalang asal Surabaya,
almarhum Gan Tjo Tjo. Setelah punya kelompok wayang Fuk Ho An dan mendalang
mandiri sejak tahun 1994, kini dia termasuk dalang laris di Jakarta. Dalang
lain yang terkenal sudah sepuh, yaitu Thio Tiong Gie (74) asal Semarang,
Jawa Tengah.
Menurut pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Jawa
Universitas Indonesia (UI), Dwi Retno R Mastuti, wayang potehi berjaya
sekitar tahun 1930-an sampai 1960-an. Saat itu, ada lebih dari 50 dalang
yang memiliki kelompok wayang sendiri-sendiri. Seni ini rutin digelar di
kelenteng-kelenteng China di Jawa.
Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang pertunjukan seni
China, menenggelamkan wayang tersebut. Seni tradisional ini pun sepi order,
penonton, apresiasi, dan kurang penerus. Wayang potehi baru menggeliat
kembali setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut inpres itu.
Lama mati suri, dalang wayang potehi kini tinggal 20-an orang. Yang
menarik, selain Thio Tiong Gie, para dalang itu umumnya orang Jawa asli yang
tinggal di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Sidoarjo, atau Blitar. Dalang
menyuarakan suluk dengan bahasa China, tetapi dialog menggunakan bahasa
Indonesia. Wayang potehi tumbuh sebagai bentuk akulturasi budaya China-Jawa
yang unik di tengah masyarakat Nusantara yang plural. (IAM)
Batara Semar
MAYA adalah sebuah cahaya hitam. Cahaya hitam tersebut untuk menyamarkan segala sesuatu.
Yang ada itu sesungguhnya tidak ada.
Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan.
Yang bukan dikira iya.
Yang wanter (bersemangat) hatinya, hilang kewanterane (semangatnya), sebab takut kalau keliru.
Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.
Di dalam cerita pewayangan, Semar adalah putra Sang Hyang Wisesa, ia diberi anugerah mustika manik astagina, yang mempunyai 8 daya, yaitu:
1. tidak pernah lapar
2. tidak pernah mengantuk
3. tidak pernah jatuh cinta
4. tidak pernah bersedih
5. tidak pernah merasa capek
6. tidak pernah menderita sakit
7. tidak pernah kepanasan
8. tidak pernah kedinginan
kedelapan daya tersebut diikat pada rambut yang ada di ubun-ubun atau kuncung. Semar atau Ismaya, diberi beberapa gelar yaitu; Batara Semar, Batara Ismaya, Batara Iswara, Batara Samara, Sanghyang Jagad Wungku, Sanghyang Jatiwasesa, Sanghyang Suryakanta. Ia diperintahkan untuk menguasai alam Sunyaruri, atau alam kosong, tidak diperkenankan menguasi manusia di alam dunia.
Di alam Sunyaruri, Batara Semar dijodohkan dengan Dewi Sanggani putri dari Sanghyang Hening. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah sepuluh anak, yaitu: Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan, Batara Siwah, Batara Wrahaspati, Batara Yamadipati, Batara Surya, Batara Candra, Batara Kwera, Batara Tamburu, Batara Kamajaya dan Dewi Sarmanasiti. Anak sulung yang bernama Batara Wungkuam atau Sanghyang Bongkokan mempunyai anak cebol, ipel-ipel dan berkulit hitam. Anak tersebut diberi nama Semarasanta dan diperintahkan turun di dunia, tinggal di padepokan Pujangkara. Semarasanta ditugaskan mengabdi kepada Resi Kanumanasa di Pertapaan Saptaarga.
Dikisahkan Munculnya Semarasanta di Pertapaan Saptaarga, diawali ketika Semarasanta dikejar oleh dua harimau, ia lari sampai ke Saptaarga dan ditolong oleh Resi Kanumanasa. Ke dua Harimau tersebut diruwat oleh Sang Resi dan ke duanya berubah menjadi bidadari yang cantik jelita. Yang tua bernama Dewi Kanestren dan yang muda bernama Dewi Retnawati. Dewi Kanestren diperistri oleh Semarasanta dan Dewi Retnawati menjadi istri Resi Kanumanasa. Mulai saat itu Semarasanta mengabdi di Saptaarga dan diberi sebutan Janggan Semarsanta.
Sebagai Pamong atau abdi, Janggan Semarasanta sangat setia kepada Bendara (tuan)nya. Ia selalu menganjurkan untuk menjalani laku prihatin dengan berpantang, berdoa, mengurangi tidur dan bertapa, agar mencapai kemuliaan. Banyak saran dan petuah hidup yang mengarah pada keutamaan dibisikan oleh tokoh ini. Sehingga hanya para Resi, Pendeta atau pun Ksatria yang kuat menjalani laku prihatin, mempunyai semangat pantang menyerah, rendah hati dan berperilaku mulia, yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta. Dapat dikatakan bahwa Janggan Semarasanta merupakan rahmat yang tersembunyi. Siapa pun juga yang diikutinya, hidupnya akan mencapai puncak kesuksesan yang membawa kebahagiaqan abadi lahir batin. Dalam catatan kisah pewayangan, ada tujuh orang yang kuat di emong oleh Janggan Semarasanta, yaitu; Resi Manumanasa sampai enam keturunannya, Sakri, Sekutrem, Palasara, Abiyasa, Pandudewanata dan sampai Arjuna.
Jika sedang marah kepada para Dewa, Janggan Semarasanta katitisan oleh eyangnya yaitu Batara Semar. Jika dilihat secara fisik, Semarasanta adalah seorang manusia cebol jelek dan hitam, namun sesungguhnya yang ada dibalik itu ia adalah pribadi dewa yang bernama Batara Semar atau Batara Ismaya.
Karena Batara Semar tidak diperbolehkan menguasai langsung alam dunia, maka ia memakai wadag Janggan Semarasanta sebagai media manitis (tinggal dan menyatu), sehingga akhirnya nama Semarasanta jarang disebut, ia lebih dikenal dengan nama Semar.
Seperti telah ditulis di atas, Semar atau Ismaya adalah penggambaran sesuatau yang tidak jelas tersamar.
Yang ada itu adalah Semarasanta, tetapi sesungguhnya Semarasanta tidak ada.
Yang sesungguhnya ada adalah Batara Semar, namun ia bukan Batara Semar, ia adalah manusia berbadan cebol,berkulit hitam yang bernama Semarasanta.
Memang benar, ia adalah Semarasanta, tetapi yang diperbuat bukan semata-mata perbuatan Semarasanta.
Jika sangat yakin bahwa ia Semarasanta, tiba-tiba berubah keyakinan bahwa ia adalah Batara Semar, dan akhirnya tidak yakin, karena takut keliru. Itulah sesuatu yang belum jelas, masih diSAMARkan, yang digambarkan pada seorang tokoh Semar.
SEMAR adalah sebuah misteri, rahasia Sang Pencipta. Rahasia tersebut akan disembunyikan kepada orang-orang yang egois, tamak, iri dengki, congkak dan tinggi hati, namun dibuka bagi orang-orang yang sabar, tulus, luhur budi dan rendah hati. Dan orang yang di anugerahi Sang Rahasia, atau SEMAR, hidupnya akan berhasil ke puncak kebahagiaan dan kemuliaan nan abadi.
Wayang Suket, Napak Tilas Semangat Pencarian
Wayang, sebagai sebuah mahakarya kesenian, sudah sangat dikenal di Indonesia. Dunia internasional bahkan telah mengakui wayang sebagai sebuah pencapaian agung kesenian. Mulai dari kisah dan peranan para tokohnya, penataan panggung pementasan, hingga musik pengiringnya. Namun mendengar kata wayang suket, barulah dahi sebagian dari kita berkerut, sambil berusaha membayangkan apa itu wayang suket.
Nama wayang suket, mungkin belumlah seterkenal wayang kulit, wayang orang, atau wayang golek. Maklumlah, khalayak ramai juga belum banyak yang bisa menyaksikan secara langsung pementasannya. Namun diantara para penikmat dan pemerhati seni, wayang suket adalah fenomena yang menjadi buah bibir.
Adalah seorang pria bernama Slamet Gundono, yang melahirkan ide wayang suket. Pria bertubuh ekstra besar ini, menemukan ide pementasan wayang suket, justru secara tidak sengaja, pada tahun 1999 lalu. Wayang suket memang unik. Dinamakan wayang suket, karena wayang, atau semacam boneka yang dimainkan oleh Slamet Gundono ini, terbuat dari rumput. Rumput dalam bahasa jawa disebut dengan suket.
Suket atau rumput, memang dengan mudah bisa ditemukan dimana saja. Namun biasanya rumput yang dirangkai dan dijadikan wayang, adalah rumput teki, rumput gajah, atau mendhong, alang�alang yang biasa dianyam menjadi tikar. Kesemuanya memiliki tekstur kuat dan bentuk yang panjang�panjang.
Wayang suket, tidak mempunyai bentuk yang baku, seperti halnya bentuk tokoh dalam wayang kulit. sekilas memang rumput�rumput ini dibentuk laksana wayang kulit, yang dapat dimainkan dengan tangan. Namun sulit membedakan tokoh yang satu dengan lainnya, karena bentuknya yang hampir serupa.
Anak � anak kecil yang tinggal disekitar sanggar tempat komunitas wayang suket berlatih, tak jarang ikut nimbrung dan minta diajari membuat wayang suket. Pembuatan wayang suket ini, bisa dibilang gampang�gampang susah.
Tangan�tangan terampil para seniman yang tergabung dalam komunitas wayang suket, nampaknya dengan mudah bisa merangkai dan menjalin rumput ditangannya, menjadi sebuah karakter wayang. Pemilihan rumput sebagai media berkesenian sendiri, bukan hanya untuk sekadar beda dan asal�asalan, tetapi memiliki gagasan filosofis yang dalam.
Semangat hidup. Kalimat inilah yang diteladani Slamet Gundono dan komunitas wayang suket, selama perjalanan proses kreatif pertunjukan wayang suket. Daya tumbuh dan kemampuan hidup, diharapkan mampu terus menghangatkan semangat berkarya mereka.
Semangat berkarya dan terus mengeksplorasi ide kreatif, membuat lakon yang disuguhkan komunitas wayang suket, selalu berbeda disetiap pertunjukkannya. Walaupun ceritanya sama, namun selalu ada penambahan, pengurangan, atau perbaikan disana�sini.
Seperti yang terjadi saat ini. Slamet Gundono dan komunitas wayang suket, tengah mempersiapkan sebuah lakon berjudul "Gonseng Drupadi". Seorang penari, nampak lincah meliuk�liukkan tubuhnya, seiring suara tetabuhan yang mengalun dengan penuh semangat.
Disela�sela latihan, atau sambil mempersiapkan lakon berikutnya, salah seorang anggota komunitas wayang suket, terlihat menganyam rumput, untuk dijadikan bentuk wayang. Sebuah proses yang mengalir. Disela�sela latihan mereka, terdapat tawa canda, saat ada bagian yang lucu dalam latihan, yang akan dipentaskan dalam festival wayang internasional ini.
Malam pagelaran festival wayang internasional�pun menjelang. Dihalaman Pendopo Kraton Mangkunegaran, Solo, belasan karakter tokoh yang akan dimainkan Slamet Gundono, dan komunitas wayang suket malam ini, telah ditata dalam sebuah konsep pementasan yang khas wayang suket.
Setelah melontarkan perkenalan, lakon Gongseng Drupadi-pun dimulai, ditengah suasana hujan deras. Lakon ini mengisahkan bagaimana Drupadi, istri Prabu Puntadewa Raja Amarta, yang merasa keberatan saat suaminya akan menghadiri ajakan Duryudana, Raja Astina, untuk bermain judi.
Sepanjang pementasan, Slamet Gundono mengajak penontonnya untuk bermain imajinasi, dengan tokoh�tokoh yang ada ditangannya. Slamet misalnya menggambarkan tokoh Drupadi yang rupawan, dalam bentuk dua buah bawang dan sebuah cabe merah. Demikian juga dengan Puntadewa, kakak tertua para pandawa, yang digambarkan dalam bentuk serupa.
Dalam perjalanannya, Slamet mengakui, wayang suket mendapatkan banyak masukan dari banyak seniman, baik itu seniman tari, musik, bahkan komedian, sehingga seluruh konsep dimensi pementasan, dipakai dalam wayang suket. Hal ini terlihat dengan adanya penari, yang menerjemahkan kegelisahan sekaligus ketidakberdayaan Drupadi, dalam liuk tarian.
Percakapan antara para tokohnya�pun ada yang dimainkan secara langsung, tidak melalui penokohan wayang yang berada dalam genggaman Slamet Gundono. Sehingga keseluruhan pementasan wayang suket, lebih bernuansa teatrikal ketimbang murni wayang.
Namun demikian Slamet Gundono tidak merasa membangkang, atau keluar dari pakem wayang yang telah ada, karena baginya, wayang suket adalah semangat pencarian yang telah ada sejak para nenek moyang dulu.
Sebelum memutuskan untuk total dalam wayang suket, Slamet Gundono adalah dalang wayang kulit. Menurutnya, dari wayang kulit�lah, pencarian atas wayang suket dilakukannya. Namun demikian bagi Sri Paduka Mangkunegoro IX, Raja Keraton Mangkunegaran, Solo, wayang suket justru dinilainya sebagai perkembangan dari wayang itu sendiri, yang masih mencari bentuknya.
Terlepas dari pertanyaan apakah wayang suket membangkang atau tidak, dari pakem wayang yang selama ini dikenal, sebagai sebuah pertunjukan wayang suket sangat menarik untuk disaksikan. Penonton merasa selalu terlibat dalam pementasan, karena sang dalang juga mengajak penonton untuk ambil bagian dalam jalannya cerita.
Jalan cerita yang tidak pernah sama, diyakini Slamet Gundono, akan memberikan pemaknaan yang berbeda bagi masing�masing penontonnya. Seluruh tokoh wayang suket, bentuknya bisa dibilang hampir serupa. Disinilah Slamet membiarkan imajinasi para penonton, untuk menggambarkan figur para tokoh, dalam benak masing�masing.
Akhir dari pementasan ini juga cukup mengejutkan. Slamet Gundono tiba�tiba membawa rombongan pelaku pertunjukan, keluar dari arena pertunjukan. Dengan lagu�lagu jenaka, diiringi oleh penari yang tetap meliukkan gerakan atraktif, pementasana wayang suket berakhir diiringi tetabuhan yang semakin melambat iramanya.
Konsep dan filosofi. Begitulah Slamet Gundono dan komunitas wayang suket memulai pencarian mereka. Sang dalang meyakini, bentuk akan tercipta ketika suatu tujuan, berakar pada konsep dan filosofi yang jelas.
Sebuah keyakinan begitu kuat dari sang dalang, serta komunitas wayang suket, untuk terus melakukan pencarian. Sebuah keyakinan yang baru�baru ini membuahkan penghargaan kebudayaan dari negeri Belanda, tepatnya dari Prince Claus Award. Sebuah simbol dan semangat untuk terus hidup, yang mereka petik dari kesederhanaan rumput, makhluk ciptaan Tuhan yang sering terlupakan keberadaannya.
Wisnu
Dalam ajaran agama Hindu, Wisnu (Dewanagari: विष्णु ; Viṣṇu) (disebut juga Sri Wisnu atau Nārāyana) adalah Dewa yang bergelar sebagai "shtiti" (pemelihara) yang bertugas memelihara dan melindungi segala ciptaan Brahman. Dalam filsafat Hindu Waisnawa, Ia dipandang sebagai roh suci dan Dewa yang tertinggi. Dalam filsafat Advaita Vedanta dan tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu dipandang sebagai salah satu manifestasi Brahman dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri yang menyaingi atau sederajat dengan Brahman.
Etimologi
Penjelasan tradisional menyatakan bahwa kata “Viṣṇu” berasal dari Bahasa Sansekerta, akar katanya “viś”, (yang berarti “menempati”, “memasuki”, juga berarti “mengisi” — menurut Rigveda), dan mendapat akhiran “nu”. Kata Wisnu kira-kira diartikan: "”Sesuatu yang menempati segalanya”". Pengamat Veda, Yaska, dalam kitab Nirukta, mendefinisikan Wisnu sebagai “vishnu vishateh”; “sesuatu yang memasuki segalanya”, dan “yad vishito bhavati tad vishnurbhavati”; “yang mana sesuatu yang tidak terikat dari belenggu itu adalah Wisnu”.
Adi Sankara dalam pendapatnya tentang Vishnu Sahasranama, mengambil kesimpulan dari akar kata tersebut, dan mengartikannya: "”yang hadir dimana pun”" ("sebagaimana Ia menempati segalanya, “vevesti”, maka Ia disebut Visnu"). Adi Sankara menyatakan: "kekuatan dari Yang Maha Kuasa telah memasuki seluruh alam semesta. Akar kata Viś berarti 'masuk ke dalam.'"
Mengenai akhiran –“nu”, Manfred Mayrhofer berpendapat bahwa bunyinya mirip dengan kata “jiṣṇu” — “"kejayaan"”. Mayrhofer juga berpendapat kata tersebut merujuk pada sebuah kata Indo-Iranian “*višnu”, dan kini telah digantikan dengan kata “rašnu” dalam kepercayaan Zoroaster di Iran.
Akar kata “viś” juga dihubungkan dengan “viśva” — “segala”. Pendapat berbeda-beda mengenai penggalan suku kata “Wisnu” misalnya: vi-ṣṇu — “memotong punggung”, vi-ṣ-ṇu —“memandang ke segala penjuru” dan viṣ-ṇu — “aktif”. Penggalan suku kata dan arti yang berbeda-beda terjadi karena kata Wisnu dianggap tidak memiliki suku kata yang konsisten.
Dewa Wisnu dalam susastra Hindu
Wisnu ber-"Triwikrawa" dalam wujud Wamana.
Susastra Hindu banyak menyebut-nyebut nama Wisnu di antara Dewa-Dewi lainnya. Dalam kitab Veda, Dewa Wisnu muncul sebanyak 93 kali. Ia sering muncul bersama dengan Indra, yang membantunya membunuh Vritra, dan bersamanya ia meminum Soma. Hubungannya yang dekat dengan Indra membuatnya disebut sebagai saudara.
Dalam Veda, Wisnu muncul tidak sebagai salah satu dari delapan Aditya, namun sebagai pemimpin mereka. Karena mampu melangkah di tiga alam, maka Wisnu dikenal sebagai "Tri-wikrama" atau "Uru-krama" untuk langkahnya yang lebar. Langkah pertamanya di bumi, langkah keduanya di langit, dan langkah ketiganya di dunia yang tidak bisa dilihat oleh manusia, yaitu di surga.
Dalam kitab Purana, Dewa Wisnu sering muncul dan menjelma sebagai seorang Awatara, seperti misalnya Rama dan Kresna, yang muncul dalam Itihāsa. Dalam penitisannya tersebut, Wisnu berperan sebagai manusia unggul.
Dalam Bhagawad Gita, Dewa Wisnu menjabarkan ajaran agama dengan mengambil sosok sebagai Sri Kresna, kusir kereta Arjuna, menjelang perang di Kurukshetra berlangsung. Pada saat itu pula Sri Kresna menampakkan wujud semestanya kepada Arjuna kemudian ia menampakkan wujud rohaninya sebagai Wisnu.
Wujud Dewa Wisnu
Dalam Purana, dan selayaknya penggambaran umum, Dewa Wisnu dilukiskan sebagai Dewa yang berkulit hitam-kebiruan atau biru gelap; berlengan enam, masing-masing memegang: gada, lotus, sangkala, dan chakra. Yang paling identik dengan Dewa Wisnu adalah senjata chakra dan kulitnya yang berwarna biru gelap. Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu disebutkan memiliki wujud yang berbeda-beda atau memiliki aspek-aspek tertentu.
Dalam filsafat Waisnawa, Wisnu memiliki enam sifat ketuhanan:
* Jñāna: mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta
* Aishvarya: maha kuasa, tak ada yang dapat mengaturnya
* Shakti: memiliki kekuatan untuk membuat yang tak mungkin menjadi mungkin
* Bala: maha kuat, mampu menopang segalanya tanpa merasa lelah
* Virya: kekuatan rohani sebagai roh suci dalam semua makhluk
* Tèjas: memberi cahaya spiritualnya kepada semua makhluk
Beberapa sarjana Waisnawa meyakini bahwa masih banyak kekuatan Wisnu yang lain dan jumlahnya tak terhitung, namun yang paling penting untuk diketahui hanyalah enam.
Penggambaran
Wisnu dan Laksmi mengendarai Garuda. Lukisan dari Rajasthan, dibuat sekitar abad ke-18.
Dalam Purana, Wisnu disebutkan bersifat gaib dan berada dimana-mana. Untuk memudahkan penghayatan terhadapnya, maka simbol-simbol dan atribut tertentu dipilih sesuai dengan karakternya, dan diwujudkan dalam bentuk lukisan, pahatan, dan arca. Dewa Wisnu digambarkan sebagai berikut:
* Seorang pria yang berlengan empat. Berlengan empat melambangkan segala kekuasaanya dan segala kekuatannya untuk mengisi seluruh alam semesta.
* Kulitnya berwarna biru gelap, atau seperti warna langit. Warna biru melambangkan kekuatan yang tiada batas, seperti warna biru pada langit abadi atau lautan abadi tanpa batas.
* Di dadanya terdapat simbol kaki Rsi Bhrigu.
* Juga terdapat simbol “srivatsa” di dadanya, simbol Dewi Lakshmi, pasangannya.
* Pada lehernya, terdapat permata “Kaustubha” dan kalung dari rangkaian bunga
* Memakai mahkota, melambangkan kuasa seorang pemimpin
* Memakai sepasang giwang, melambangkan dua hal yang selalu bertentangan dalam penciptaan, seperti: kebijakan dan kebodohan, kesedihan dan kebahagiaan, kenikmatan dan kesakitan.
* Beristirahat dengan ranjang Ananta Shesa, ular suci.
Wisnu sering dilukiskan memegang empat benda yang selalu melekat dengannya, yakni:
* Terompet kulit kerang atau “Shankhya”, bernama “Panchajanya”, dipegang oleh tangan kiri atas, simbol kreativitas. Panchajanya melambangkan lima elemen penyusun alam semesta dalam agama Hindu, yakni: air, tanah, api, udara, dan aether.
* Chakram, senjata berputar dengan gerigi tajam, bernama “Sudarshana”, dipegang oleh tangan kanan atas, melambangkan pikiran. Sudarshana berarti pandangan yang baik.
* Gada yang bernama Kaumodaki, dipegang oleh tangan kiri bawah, melambangkan keberadaan individual.
* Bunga lotus atau Padma, simbol kebebasan. Padma melambangkan kekuatan yang memunculkan alam semesta.
Tiga wujud
Dalam ajaran filsafat Waisnawa (terutama di India), Wisnu disebutkan memiliki tiga aspek atau perwujudan lain. Ketiga wujud tersebut yaitu: Kāraṇodakaśāyi Vishnu atau Mahā Vishnu; Garbhodakaśāyī Vishnu; dan Kṣirodakasāyī Vishnu. Menurut Bhagavad Gītā, ketiga aspek tersebut disebut "Puruṣa Avatāra", yaitu penjelmaan Wisnu yang mempengaruhi penciptaan dan peleburan alam material. Kāraṇodakaśāyi Vishnu (Mahā Vishnu) dinyatakan sebagai Wisnu yang berbaring dalam "lautan penyebab" dan Beliau menghembuskan banyak alam semesta (galaksi?) yang jumlahnya tak dapat dihitung; Garbhodakaśāyī Vishnu dinyatakan sebagai Wisnu yang masuk ke dalam setiap alam semesta dan menciptakan aneka rupa; Kṣirodakasāyī Vishnu (Roh utama) dinyatakan sebagai Wisnu masuk ke dalam setiap makhluk dan ke dalam setiap atom.
Lima wujud
Dalam ajaran di asrama Waisnawa di India, Wisnu diasumsikan memiliki lima wujud, yaitu:
* Para. Para merupakan wujud tertinggi dari Dewa Wisnu yang hanya bisa ditemui di Sri Waikunta, juga disebut Moksha, bersama dengan pasangannya — Dewi Lakshmi, Bhuma Dewi dan Nila Di sana Ia dikelilingi oleh roh-roh suci dan jiwa yang bebas.
* Vyuha. Dalam wujud Vyuha, Dewa Wisnu terbagi menjadi empat wujud yang mengatur empat fungsi semesta yang berbeda, serta mengontrol segala aktivitas makhluk hidup.
* Vibhava. Dalam wujud Vibhava, Wisnu diasumsikan memiliki penjelmaan yang berbeda-beda, atau lebih dikenal dengan sebutan Awatara, yang mana bertugas untuk membasmi kejahatan dan menegakkan keadilan di muka bumi.
* Antaryami. Antaryami atau “Sukma Vasudeva” adalah wujud Dewa Wisnu yang berada pada setiap hati makhluk hidup.
* Arcavatara. Arcavatara merupakan manifestasi Wisnu dalam imajinasi, yang digunakan oleh seseorang agar lebih mudah memujanya sebab pikirannya tidak mampu mencapai wujud Para, Vyuha, Vibhava, dan Antaryami dari Wisnu.
Awatara
Sepuluh Awatara Dewa Wisnu.
!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Awatara
Dalam Purana, Dewa Wisnu menjelma sebagai Awatara yang turun ke dunia untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan dan kehancuran. Wujud dari penjelmaan Wisnu tersebut beragam, hewan atau manusia. Awatara yang umum dikenal oleh umat Hindu berjumlah sepuluh yang disebut Dasa Awatara atau Maha Avatār.
Sepuluh Awatara Wisnu:
* Matsya (Sang ikan)
* Kurma (Sang kura-kura)
* Waraha (Sang babihutan)
* Narasimha (Sang manusia-singa)
* Wamana (Sang orang cebol)
* Parasurama (Sang Brāhmana-Kshatriya)
* Rama (Sang pangeran)
* Kresna (Sang pengembala)
* Buddha (Sang pemuka agama)
* Kalki (Sang penghancur)
Di antara sepuluh awatara tersebut, sembilan di antaranya diyakini sudah menjelma dan pernah turun ke dunia oleh umat Hindu, sedangkan awatara terakhir (Kalki) masih menunggu hari lahirnya dan diyakini menjelma pada penghujung zaman Kali Yuga.
Hubungan dengan Dewa lain
Dewa Wisnu memiliki hubungan dengan Dewi Lakshmi, Dewi kemakmuran yang merupakan istrinya. Selain dengan Indra, Wisnu juga memiliki hubungan dekat dengan Brahmā dan Siwa sebagai konsep Trimurti. Kendaraan Dewa Wisnu adalah Garuda, Dewa burung. Dalam penggambaran umum, Dewa Wisnu sering dilukiskan duduk di atas bahu burung Garuda tersebut.
Tradisi dan pemujaan
Dalam tradisi Dvaita Waisnawa, Wisnu merupakan Makhluk yang Maha Kuasa. Dalam filsafat Advaita Vedanta, Wisnu dipandang sebagai salah satu dari manifestasi Brahman. Dalam segala tradisi Sanatana Dharma, Wisnu dipuja secara langsung maupun tidak langsung, yaitu memuja awatara-nya.
Aliran Waisnawa memuja Wisnu secara khusus. Dalam sekte Waisnawa di India, Wisnu dipuja sebagai roh yang utama dan dibedakan dengan Dewa-Dewi lainnya, yang disejajarkan seperti malaikat. Waisnawa menganut monotheisme terhadap Wisnu, atau Wisnu merupakan sesuatu yang tertinggi, tidak setara dengan Dewa.
Dalam tradisi Hindu umumnya, Dewa Wisnu memanifestasikan dirinya menjadi Awatara, dan di India, masing-masing awatara tersebut dipuja secara khusus.
Tidak diketahui kapan sebenarnya pemujaan terhadap Wisnu dimulai. Dalam Veda dan informasi tentang agama Hindu lainnya, Wisnu diasosiasikan dengan Indra. Shukavak N. Dasa, seorang sarjana Waisnawa, berkomentar bahwa pemujaan dan lagu pujia-pujian dalam Veda ditujukan bukan untuk Dewa-Dewi tertentu, melainkan untuk Sri Wisnu — Yang Maha Kuasa — yang merupakan jiwa tertinggi dari para Dewa. [1]
Di Bali, Dewa Wisnu dipuja di sebuah pura khusus untuk beliau, bernama Pura Puseh, yakni pura yang harus ada di setiap desa dan kecamatan. Di sana ia dipuja sebagai salah satu manifestasi Sang Hyang Widhi yang memberi kesuburan dan memelihara alam semesta.
Menurut konsep Nawa Dewata dalam Agama Hindu Dharma di Bali, Dewa Wisnu menempati arah utara dalam mata angin. Warnanya hitam, aksara sucinya “U” (ung).
Versi pewayangan Jawa
Wisnu dalam bentuk wayang gaya Surakarta.
Dalam pementasan wayang Jawa, Wisnu sering disebut dengan gelar Sanghyang Batara Wisnu. Menurut versi ini, Wisnu adalah putra kelima Batara Guru dan Batari Uma. Ia merupakan putra yang paling sakti di antara semua putra Batara Guru.
Menurut mitologi Jawa, Wisnu pertama kali turun ke dunia menjelma menjadi raja bergelar Srimaharaja Suman. Negaranya bernama Medangpura, terletak di wilayah Jawa Tengah sekarang. Ia kemudian berganti nama menjadi Sri Maharaja Matsyapati, merajai semua jenis binatang air.
Selain itu Wisnu juga menitis atau terlahir sebagai manusia. Titisan Wisnu menurut pewayangan antara lain,
1. Srimaharaja Kanwa.
2. Resi Wisnungkara
3. Prabu Arjunasasrabahu
4. Sri Ramawijaya
5. Sri Batara Kresna
6. Prabu Jayabaya
7. Prabu Anglingdarma
Wayang Kulit Purwa
Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu atau kambing).
Wayang kulit dipakai untuk memperagakan Lakon lakon dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa.
Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa, ngruwat dan lain-lain.
Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung.
Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara.
Rata-rata pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi.
Bila dilakukan pada siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00.
Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak.
Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang kulit, jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya.
Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya.
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan.
Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan.
Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja.
Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting.
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini.
Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.
Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri.
Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.
Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan.
Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain.
Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.
Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik.
Wayang Indonesia: Membayangi Sejarah Bangsa
Yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Petikan bait 59 Kakawin Arjuna Wiwaha karya Pu Kanwa
(1030) yang dikutip di atas bisa disebut satu-satunya sumber tertulis
tertua dan autentik tentang pertunjukan wayang kulit yang mulai dikenal
di Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga di
Kerajaan Kadiri. Ini menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil
lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada
masa itu. Ini untuk menjelaskan bahwa budaya wayang telah merasuk dan berkembang sejak lama di tengah masyarakat kita.
KEYAKINAN bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa Indonesia
antara lain ditegaskan oleh pakar wayang, Prof Dr Soetarno, Ketua
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Surakarta, yang di antaranya
membawahi Jurusan Pedalangan.Juga dalam Kitab Tantu Panggelaran (abad ke-12)
disebutkan tentang wayang yang menggunakan bahan dari kulit binatang
yang ditatah. Adapun kelir (layar) juga telah digunakan pada masa itu (Kitab Wreta Sancaya). Pada pertengahan abad ke-12, iringan musik untuk pementasan wayang antara lain berupa tudungan dan saron kemanak.GAJ Hazeu, seorang ahli bahasa dari Belanda yang
meneliti tentang wayang, pada tahun 1897 meyakini pula bahwa wayang
merupakan hasil kebudayaan Jawa. Ini didasarkan
etimologi istilah-istilah yang dikenal dalam pementasan wayang, yaitu
dalang, kelir, wayang, keprak, dan blencong. Secara leksikon, wayang berarti bayangan.
Disertasi Hazeu di atas merupakan hasil penelitian ilmiah tentang
wayang yang pernah dilakukan meski lebih dari sudut linguistik,
karenanya juga menjadi sumber informasi paling valid.
Sejumlah sumber tertulis lain seperti Serat Centhini
(1823) dan Sastramiruda (1920) juga menyinggung tentang wayang, namun
itu lebih didasarkan pada tradisi oral sehingga sulit diyakini
validitasnya. Kemudian, Prof Poerbatjaraka
dalam Kapustakan Jawi (1952) memaparkan sejumlah hasil penelitian yang
di antaranya mengungkap tentang sejarah wayang. Mula-mula, pelukisan sosok wayangnya dibikin "realis"
(tiga dimensi), seperti sosok wayang pada relief di Candi Prambanan
(abad ke-10), Jawa Tengah. Pada masa Majapahit
(abad ke-13), bentuk wayang dibikin agak miring (menyamping), meniru
relief di Candi Penataran, Jawa Timur, (bentuk autentiknya bisa kita
lacak pada wayang Bali saat ini). Keberadaan candi-candi di atas menunjukkan pengaruh kuat agama Hindu di Jawa. Apalagi relief atau arca yang terdapat di candi-candi tersebut banyak melukiskan fragmen-fragmen cerita "wayang". ALHASIL, dari data sejarah di atas dan proses
perkembangan yang dialami, berbagai pihak meyakini bahwa wayang adalah
karya budaya "asli" karena lahir dan mengalami proses panjang di
Indonesia. Meski tidak diingkari bahwa
cerita-cerita pewayangan berasal dari tradisi Hinduisme di India,
sebagai produk kebudayaan, wayang mengalami proses "pencanggihan"
sendiri di bumi nusantara. Kompleksitas dan
intensitas proses pencanggihan pada pertunjukan wayang yang meliputi
berbagai aspeknya itu agaknya tidak kita kenal pada produk budaya yang
lain di nusantara.Melalui wayang, kita melihat suatu proses kebudayaan yang menurut para ahli, "tidak terjadi di ruang kosong". Wayang berkembang menjadi ekspresi budaya yang autentik bagi bangsa Indonesia. Selain di Jawa dan Bali, wayang sempat berkembang di Kalimantan, Sumatera, dan Lombok.
Secara obyektif, wayang yang berkembang di Indonesia berbeda cukup
signifikan dengan wayang yang ada di India (ataupun di Thailand).
Selain wayang kulit purwa (dengan kisah Ramayana dan Mahabharata), ada pula wayang beber (kisah Panji).
Kemudian dikenal wayang madya (zaman sesudah Parikesit), wayang gedog
(siklus Panji), wayang klithik (kisah Damarwulan), wayang golek (dari
Serat Menak), wayang dupara (Babad Mataram II), wayang krucil (kisah
Damarwulan), wayang kancil (fabel), wayang perjuangan (1945), wayang
suluh (1945), wayang pancasila (1947), wayang wahyu (1960), wayang
buddha (1979), wayang sandosa (1980), wayang sadhat (1984), wayang
kampung (2002), dan wayang sang pamarta (2003).
Belum lagi yang mengambil bentuk atau media pertunjukan lain, seperti
wayang orang, wayang topeng, langen mandra wanaran, sendratari wayang,
wayang jemblung. Dan dalam bentuk kontemporer muncul kreasi wayang nggremeng, wayang suket.
Semar, Gareng, Petruk, Bagong
Dalam perkembangan selanjutnya, hadirnya Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).
Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan Raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anak-anaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.
Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Sudah dipaparkan pada dua tulisan sebelumnya, bahwa Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan cekot adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya).
Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan 'ngelmu' sedulur papat lima pancer. Sedulur papat adalah panakawan, lima pancer adalah ksatriya. Posisi pancer berada ditengah, diapit oleh dua saudara tua (kakang mbarep, kakang kawah) dan dua saudara muda (adi ari-ari dan adi wuragil). Ngelmu sedulur papat lima pancer lahir dari konsep penyadaran akan awal mula manusia diciptakan dan tujuan akhir hidup manusia (sangkan paraning dumadi). Awal mula manusia diciptakan di awali dari saat-saat menjelang kelahiran. Sebelum sang bayi (bayi, dalam konteks ini adalah pancer) lahir dari rahim ibu, yang muncul pertama kali adalah rasa cemas si ibu. Rasa cemas itu dinamakan Kakang mbarep. Kemudian pada saat menjelang bayi itu lahir, keluarlah cairan bening atau banyu kawah sebagai pelicin, untuk melindungi si bayi, agar proses kelahiran lancar dan kulit bayi yang lembut tidak lecet atau terluka. Banyu kawah itu disebut Kakang kawah. Setelah bayi lahir akan disusul dengan keluarnya ari-ari dan darah. Ari-ari disebut Adi ari-ari dan darah disebut Adi wuragil.
Ngelmu sedulur papat lima pancer memberi tekanan bahwa, manusia dilahirkan ke dunia ini tidak sendirian. Ada empat saudara yang mendampingi. Pancer adalah suksma sejati dan sedulur papat adalah raga sejati. Bersatunya suksma sejati dan raga sejati melahirkan sebuah kehidupan.
Hubungan antara pancer dan sedulur papat dalam kehidupan, digambarkan dengan seorang sais mengendalikan sebuah kereta, ditarik oleh empat ekor kuda, yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih. Sais kereta melambangkan kebebasan untuk memutuskan dan berbuat sesuatu. Kuda merah melambangkan energi, semangat, kuda hitam melambangkan kebutuhan biologis, kuda kuning melambangkan kebutuhan rohani dan kuda putih melambangkan keheningan, kesucian. Sebagai sais, tentunya tidak mudah mengendalikan empat kuda yang saling berbeda sifat dan kebutuhannya. Jika sang sais mampu mengendalikan dan bekerjasama dengan ke empat ekor kudanya dengan baik dan seimbang, maka kereta akan berjalan lancar sampai ke tujuan akhir. Sang Sangkan Paraning Dumadi.
(herjaka)
SEJARAH WAYANG
Miturut para ahli budaya uga panemune penyelidikan para ahli arkeologi sing ana ing Indonesia, kesenian budaya wayang kuwi saktemene bentuk asline wis ono biyen-biyen, rikolo isih jaman kuna, yaiku jaman sakdurunge ana agama Hindu Budha. Ing jaman semana sing diarani budaya wayang wis diduweni karo dening bangsa Indonesia dewe. Dadi wayang kuwi iya kabudayan asline bangsa. Wektu kuwi, budaya wayang isih cedak hubungane karo muja-mujine kapercayan animisme sing isih pada dianut para leluhuring bangsa Indonesia.
Miturut kapercayan Animisme roh nenek moyang utawa leluhur bisa dienggo nyenyuwun petunjuk bantuan kanggo kamulyan uga biso disuwuni kanggo pengayom kasusahaning lan kacilakane menungsa. Kosok baline ruh kuwi mau iya uga dipercaya sing bisa ndadekake gangguan utawa kacilakane menungsa. Mula rikala semana, yen ana karep kanggo nyenyuwun bantuane roh para leluhur, banjur dianakna kaya dening upacara ritual selametan, sing jarene bisa ngundang, nimbali para rohing leluhur sing wis pada seda kanggo disuwuni keselametan lan kamulyane menungsa. Upacara ritual mau dianakna dibarengi nganggo cara gawe pagelaran wayang.
Kira-kira awalane tahun masehi, kaya sing dicritakake karo dening para ahli sejarah mau, bangsa Hindu sing asale soko jazirah India akeh pada teka dadi ”imigran” menyang Indonesia. Bareng suwening-suwe, gelem ora gelem dadekake pengaruh kabudayan Hindu-Budha iki akhire iya bisa diterima karo dening penduduk asline Indonesia.
Ing sakjroning jaman kuwi, basa Sansekerta wis dienggo karo kalangan bangsawan sing sakteruse banjur mempengaruhi basa asli Jawa lan Bali. Ing kene kesenian wayang karo bangsa Hindu dienggo wadah ngembangake lan wedharake budaya agama Hindu lewat crita Mahabharata utawa Ramayana. Suwe-suwe kahanan kaya mangkono kuwi sing sakbanjure ndadekake campur lan manunggale budaya asli bangsa Indonesia karo budaya Hindu. Kesenian wayang sing budayane wis campur manunggal iki mau sing sakteruse dadi sinebab agama hindu cepet nyebar, ngresep lan diterima ing masyarakat Indonesia.
Mulane ing jroning crita wayang iku akeh pranatane budaya agama Hindu.Miturut kitab Sastra Centhini kasebutake mula bukane kesenian wayang purwo kuwi cinipta karo dening Raja Jayabaya soko Kerajaan Kediri. Kira-kira abad 10 Prabu Jayabaya hanyipta gawe gegambarane roh leluhure sing terus ditulisake ing godong lontar. Gegambaran sing kaya mangkono mau akeh sing ditiru soko gambarane ”relief” crita Ramayana, sing wis tinulis ing candi penataran Blitar. Prabu Jayabaya ing kana mau banget katertarikane marang isine Crita Ramayana mergo dewekne kuwi termasuk raja sing meyembah dewa Wishnu, sing uga nganti sakprene karo masyarakat isih dipercaya Prabu Jayabaya dianggep panjelmaane lan titisane Betara Wishnu.
Ing jaman sakwise, yaiku jaman Jenggala kesenian wayang purwa kuwi disampurnakake wujude karo dening Raja Jenggala Raden Panji Rawisrengga sing bergelar Sri Suryawisesa. Sakteruse dadi apik lan indahe. Kocap cinarita terus wayang-wayang sing wis kawujud mau banjur diklumpukake lan disimpen ing jeroning peti ”khusus” sing ”nyeni” indah. Bebarengan karo kuwi uga diciptakake pakem crita wayang purwa sing pagelarane dianakake setiap ana upacara-upacara penting ing istana kerajaan lan uga didalangi dewe karo Sri Suryawisesa.
Rikala jaman Majapahit gegambarane kesenian wayang kuwi saya luwih disampurnaake lan dadi tambah apike, amarga wis ditambah bagian kana-kene sing disik-disikane dadi kekurangane, terus digulung dadi siji. Wayang sing wujude gulungan kuwi, yen dienggo pagelaran gulungane dibeber. Mulo kuwi jenis wayang sing mangkene terus diwenehi jeneng Wayang Beber. Wiwit ono panemune wayang beber iki kesenian wayang banjur diwedharake ngrambah metu soko lingkungane keraton. Lan wiwit kuwi uga masyarakat saknjabane keraton bisa melu ndeleng keindahane pagelaran kesenian wayang beber.
Sakbanjure nyedaki pungkasaning jaman Majapahit, pengaruh Agama Islam wis wiwit ngrambyah lan kawedhar ing tanah Jawa. Karo dening para wali lan sunan Kesenian wayang kuwi uga dienggo ”media effektif” medharake ajaran agama Islam. Kahanan kaya mangkono kuwi uga sing dadekake kesenian wayang akeh perubahan wujud sing cukup ”signifikan”, kanggo ngilangake gegambarane manungsa sing ing Agama Islam kuwi diharamake lan uga kanggo ngilangake gegambaran sing mujudake pengaruh agama Hindu. Ing jaman kuwi, wujude wayang di owah, digawe soko kulit lan balung sing wujude mung kaya simbol-simbol supaya gegambarane menungsa dadi samar, sakteruse nganti sakprene wujude wayang mung kaya lan dadi arupa simbol-simbol wewayangan panguripane menungsa.
Sumangga dipun tambahi lan nuwun sewu menawi wonten luput klerunipun.Nuwun
Dicuplik lan dirangkum saking sumber tulisanipun RA Sutini BA