Wayang, sebagai sebuah mahakarya kesenian, sudah sangat dikenal di Indonesia. Dunia internasional bahkan telah mengakui wayang sebagai sebuah pencapaian agung kesenian. Mulai dari kisah dan peranan para tokohnya, penataan panggung pementasan, hingga musik pengiringnya. Namun mendengar kata wayang suket, barulah dahi sebagian dari kita berkerut, sambil berusaha membayangkan apa itu wayang suket.

Nama wayang suket, mungkin belumlah seterkenal wayang kulit, wayang orang, atau wayang golek. Maklumlah, khalayak ramai juga belum banyak yang bisa menyaksikan secara langsung pementasannya. Namun diantara para penikmat dan pemerhati seni, wayang suket adalah fenomena yang menjadi buah bibir.

Adalah seorang pria bernama Slamet Gundono, yang melahirkan ide wayang suket. Pria bertubuh ekstra besar ini, menemukan ide pementasan wayang suket, justru secara tidak sengaja, pada tahun 1999 lalu. Wayang suket memang unik. Dinamakan wayang suket, karena wayang, atau semacam boneka yang dimainkan oleh Slamet Gundono ini, terbuat dari rumput. Rumput dalam bahasa jawa disebut dengan suket.

Suket atau rumput, memang dengan mudah bisa ditemukan dimana saja. Namun biasanya rumput yang dirangkai dan dijadikan wayang, adalah rumput teki, rumput gajah, atau mendhong, alang�alang yang biasa dianyam menjadi tikar. Kesemuanya memiliki tekstur kuat dan bentuk yang panjang�panjang.

Wayang suket, tidak mempunyai bentuk yang baku, seperti halnya bentuk tokoh dalam wayang kulit. sekilas memang rumput�rumput ini dibentuk laksana wayang kulit, yang dapat dimainkan dengan tangan. Namun sulit membedakan tokoh yang satu dengan lainnya, karena bentuknya yang hampir serupa.

Anak � anak kecil yang tinggal disekitar sanggar tempat komunitas wayang suket berlatih, tak jarang ikut nimbrung dan minta diajari membuat wayang suket. Pembuatan wayang suket ini, bisa dibilang gampang�gampang susah.

Tangan�tangan terampil para seniman yang tergabung dalam komunitas wayang suket, nampaknya dengan mudah bisa merangkai dan menjalin rumput ditangannya, menjadi sebuah karakter wayang. Pemilihan rumput sebagai media berkesenian sendiri, bukan hanya untuk sekadar beda dan asal�asalan, tetapi memiliki gagasan filosofis yang dalam.

Semangat hidup. Kalimat inilah yang diteladani Slamet Gundono dan komunitas wayang suket, selama perjalanan proses kreatif pertunjukan wayang suket. Daya tumbuh dan kemampuan hidup, diharapkan mampu terus menghangatkan semangat berkarya mereka.

Semangat berkarya dan terus mengeksplorasi ide kreatif, membuat lakon yang disuguhkan komunitas wayang suket, selalu berbeda disetiap pertunjukkannya. Walaupun ceritanya sama, namun selalu ada penambahan, pengurangan, atau perbaikan disana�sini.

Seperti yang terjadi saat ini. Slamet Gundono dan komunitas wayang suket, tengah mempersiapkan sebuah lakon berjudul "Gonseng Drupadi". Seorang penari, nampak lincah meliuk�liukkan tubuhnya, seiring suara tetabuhan yang mengalun dengan penuh semangat.

Disela�sela latihan, atau sambil mempersiapkan lakon berikutnya, salah seorang anggota komunitas wayang suket, terlihat menganyam rumput, untuk dijadikan bentuk wayang. Sebuah proses yang mengalir. Disela�sela latihan mereka, terdapat tawa canda, saat ada bagian yang lucu dalam latihan, yang akan dipentaskan dalam festival wayang internasional ini.

Malam pagelaran festival wayang internasional�pun menjelang. Dihalaman Pendopo Kraton Mangkunegaran, Solo, belasan karakter tokoh yang akan dimainkan Slamet Gundono, dan komunitas wayang suket malam ini, telah ditata dalam sebuah konsep pementasan yang khas wayang suket.

Setelah melontarkan perkenalan, lakon Gongseng Drupadi-pun dimulai, ditengah suasana hujan deras. Lakon ini mengisahkan bagaimana Drupadi, istri Prabu Puntadewa Raja Amarta, yang merasa keberatan saat suaminya akan menghadiri ajakan Duryudana, Raja Astina, untuk bermain judi.

Sepanjang pementasan, Slamet Gundono mengajak penontonnya untuk bermain imajinasi, dengan tokoh�tokoh yang ada ditangannya. Slamet misalnya menggambarkan tokoh Drupadi yang rupawan, dalam bentuk dua buah bawang dan sebuah cabe merah. Demikian juga dengan Puntadewa, kakak tertua para pandawa, yang digambarkan dalam bentuk serupa.

Dalam perjalanannya, Slamet mengakui, wayang suket mendapatkan banyak masukan dari banyak seniman, baik itu seniman tari, musik, bahkan komedian, sehingga seluruh konsep dimensi pementasan, dipakai dalam wayang suket. Hal ini terlihat dengan adanya penari, yang menerjemahkan kegelisahan sekaligus ketidakberdayaan Drupadi, dalam liuk tarian.

Percakapan antara para tokohnya�pun ada yang dimainkan secara langsung, tidak melalui penokohan wayang yang berada dalam genggaman Slamet Gundono. Sehingga keseluruhan pementasan wayang suket, lebih bernuansa teatrikal ketimbang murni wayang.

Namun demikian Slamet Gundono tidak merasa membangkang, atau keluar dari pakem wayang yang telah ada, karena baginya, wayang suket adalah semangat pencarian yang telah ada sejak para nenek moyang dulu.

Sebelum memutuskan untuk total dalam wayang suket, Slamet Gundono adalah dalang wayang kulit. Menurutnya, dari wayang kulit�lah, pencarian atas wayang suket dilakukannya. Namun demikian bagi Sri Paduka Mangkunegoro IX, Raja Keraton Mangkunegaran, Solo, wayang suket justru dinilainya sebagai perkembangan dari wayang itu sendiri, yang masih mencari bentuknya.

Terlepas dari pertanyaan apakah wayang suket membangkang atau tidak, dari pakem wayang yang selama ini dikenal, sebagai sebuah pertunjukan wayang suket sangat menarik untuk disaksikan. Penonton merasa selalu terlibat dalam pementasan, karena sang dalang juga mengajak penonton untuk ambil bagian dalam jalannya cerita.

Jalan cerita yang tidak pernah sama, diyakini Slamet Gundono, akan memberikan pemaknaan yang berbeda bagi masing�masing penontonnya. Seluruh tokoh wayang suket, bentuknya bisa dibilang hampir serupa. Disinilah Slamet membiarkan imajinasi para penonton, untuk menggambarkan figur para tokoh, dalam benak masing�masing.

Akhir dari pementasan ini juga cukup mengejutkan. Slamet Gundono tiba�tiba membawa rombongan pelaku pertunjukan, keluar dari arena pertunjukan. Dengan lagu�lagu jenaka, diiringi oleh penari yang tetap meliukkan gerakan atraktif, pementasana wayang suket berakhir diiringi tetabuhan yang semakin melambat iramanya.

Konsep dan filosofi. Begitulah Slamet Gundono dan komunitas wayang suket memulai pencarian mereka. Sang dalang meyakini, bentuk akan tercipta ketika suatu tujuan, berakar pada konsep dan filosofi yang jelas.

Sebuah keyakinan begitu kuat dari sang dalang, serta komunitas wayang suket, untuk terus melakukan pencarian. Sebuah keyakinan yang baru�baru ini membuahkan penghargaan kebudayaan dari negeri Belanda, tepatnya dari Prince Claus Award. Sebuah simbol dan semangat untuk terus hidup, yang mereka petik dari kesederhanaan rumput, makhluk ciptaan Tuhan yang sering terlupakan keberadaannya.