Yang melihat wayang itu umpamanya orang yang bernafsu keduniawian yang serba nikmat, mengakibatkan kegelapan hati. Petikan bait 59 Kakawin Arjuna Wiwaha karya Pu Kanwa

(1030) yang dikutip di atas bisa disebut satu-satunya sumber tertulis
tertua dan autentik tentang pertunjukan wayang kulit yang mulai dikenal
di Jawa, yaitu pada masa pemerintahan Dharmawangsa Airlangga di
Kerajaan Kadiri. Ini menjelaskan bahwa pertunjukan wayang (mengambil
lakon Bima di masa muda) untuk keperluan upacara telah dikenal pada
masa itu. Ini untuk menjelaskan bahwa budaya wayang telah merasuk dan berkembang sejak lama di tengah masyarakat kita.
KEYAKINAN bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa Indonesia
antara lain ditegaskan oleh pakar wayang, Prof Dr Soetarno, Ketua
Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Surakarta, yang di antaranya
membawahi Jurusan Pedalangan.Juga dalam Kitab Tantu Panggelaran (abad ke-12)
disebutkan tentang wayang yang menggunakan bahan dari kulit binatang
yang ditatah. Adapun kelir (layar) juga telah digunakan pada masa itu (Kitab Wreta Sancaya). Pada pertengahan abad ke-12, iringan musik untuk pementasan wayang antara lain berupa tudungan dan saron kemanak.GAJ Hazeu, seorang ahli bahasa dari Belanda yang
meneliti tentang wayang, pada tahun 1897 meyakini pula bahwa wayang
merupakan hasil kebudayaan Jawa. Ini didasarkan
etimologi istilah-istilah yang dikenal dalam pementasan wayang, yaitu
dalang, kelir, wayang, keprak, dan blencong. Secara leksikon, wayang berarti bayangan.
Disertasi Hazeu di atas merupakan hasil penelitian ilmiah tentang
wayang yang pernah dilakukan meski lebih dari sudut linguistik,
karenanya juga menjadi sumber informasi paling valid.
Sejumlah sumber tertulis lain seperti Serat Centhini
(1823) dan Sastramiruda (1920) juga menyinggung tentang wayang, namun
itu lebih didasarkan pada tradisi oral sehingga sulit diyakini
validitasnya. Kemudian, Prof Poerbatjaraka
dalam Kapustakan Jawi (1952) memaparkan sejumlah hasil penelitian yang
di antaranya mengungkap tentang sejarah wayang. Mula-mula, pelukisan sosok wayangnya dibikin "realis"
(tiga dimensi), seperti sosok wayang pada relief di Candi Prambanan
(abad ke-10), Jawa Tengah. Pada masa Majapahit
(abad ke-13), bentuk wayang dibikin agak miring (menyamping), meniru
relief di Candi Penataran, Jawa Timur, (bentuk autentiknya bisa kita
lacak pada wayang Bali saat ini). Keberadaan candi-candi di atas menunjukkan pengaruh kuat agama Hindu di Jawa. Apalagi relief atau arca yang terdapat di candi-candi tersebut banyak melukiskan fragmen-fragmen cerita "wayang". ALHASIL, dari data sejarah di atas dan proses
perkembangan yang dialami, berbagai pihak meyakini bahwa wayang adalah
karya budaya "asli" karena lahir dan mengalami proses panjang di
Indonesia. Meski tidak diingkari bahwa
cerita-cerita pewayangan berasal dari tradisi Hinduisme di India,
sebagai produk kebudayaan, wayang mengalami proses "pencanggihan"
sendiri di bumi nusantara. Kompleksitas dan
intensitas proses pencanggihan pada pertunjukan wayang yang meliputi
berbagai aspeknya itu agaknya tidak kita kenal pada produk budaya yang
lain di nusantara.Melalui wayang, kita melihat suatu proses kebudayaan yang menurut para ahli, "tidak terjadi di ruang kosong". Wayang berkembang menjadi ekspresi budaya yang autentik bagi bangsa Indonesia. Selain di Jawa dan Bali, wayang sempat berkembang di Kalimantan, Sumatera, dan Lombok.
Secara obyektif, wayang yang berkembang di Indonesia berbeda cukup
signifikan dengan wayang yang ada di India (ataupun di Thailand).
Selain wayang kulit purwa (dengan kisah Ramayana dan Mahabharata), ada pula wayang beber (kisah Panji).
Kemudian dikenal wayang madya (zaman sesudah Parikesit), wayang gedog
(siklus Panji), wayang klithik (kisah Damarwulan), wayang golek (dari
Serat Menak), wayang dupara (Babad Mataram II), wayang krucil (kisah
Damarwulan), wayang kancil (fabel), wayang perjuangan (1945), wayang
suluh (1945), wayang pancasila (1947), wayang wahyu (1960), wayang
buddha (1979), wayang sandosa (1980), wayang sadhat (1984), wayang
kampung (2002), dan wayang sang pamarta (2003).
Belum lagi yang mengambil bentuk atau media pertunjukan lain, seperti
wayang orang, wayang topeng, langen mandra wanaran, sendratari wayang,
wayang jemblung. Dan dalam bentuk kontemporer muncul kreasi wayang nggremeng, wayang suket.