Sesuai dengan namanya, wayang kulit terbuat dari kulit binatang (kerbau, lembu atau kambing).
Wayang kulit dipakai untuk memperagakan Lakon lakon dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana, oleh karena itu disebut juga Wayang Purwa.
Sampai sekarang pertunjukan wayang kulit disamping merupakan sarana hiburan juga merupakan salah satu bagian dari upacara-upacara adat seperti: bersih desa, ngruwat dan lain-lain.
Untuk mementaskan pertunjukan wayang kulit secara lengkap dibutuhkan kurang lebih sebanyak 18 orang pendukung.
Satu orang sebagai dalang, 2 orang sebagai waranggana, dan 15 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara.
Rata-rata pertunjukan dalam satu malam adalah 7 sampai 8 jam, mulai dari jam 21.00 sampai jam 05.00 pagi.
Bila dilakukan pada siang hari pertunjukan biasanya dimulai dari jam 09.00 sampai dengan jam 16.00.
Tempat pertunjukan wayang ditata dengan menggunakan konsep pentas yang bersifat abstrak.
Arena pentas terdiri dari layar berupa kain putih dan sebagai sarana tehnis di bawahnya ditaruh batang pisang untuk menancapkan wayang.
Dalam pertunjukan wayang kulit, jumlah adegan dalam satu lakon tidak dapat ditentukan. Jumlah adegan ini akan berbeda-beda berdasarkan lakon yang dipertunjukkan atau tergantung dalangnya.
Sebagai pra-tontonan adalah tetabuhan yang tidak ada hubungannya dengan ceritera pokok, jadi hanya bersifat sebagai penghangat suasana saja atau pengantar untuk masuk ke pertunjukan yang sebenarnya.
Sebagai pedoman dalam menyajikan pertunjukan wayang kulit biasanya seorang dalang akan menggunakan pakem pedalangan berupa buku pedalangan.
Namun ada juga dalang yang menggunakan catatan dari dalang-dalang tua yang pengetahuannya diperoleh lewat keturunan.
Meskipun demikian, seorang dalang diberi kesempatan pula untuk berimprovisasi, karena pakem pedalangan tersebut sebenarnya hanya berisi inti ceritera pokok saja.
Untuk lebih menghidupkan suasana dan membuat pertunjukan menjadi lebih menarik, improvisasi serta kreativitas dalang ini memegang peranan yang amat penting.
Warna rias wajah pada wayang kulit mempunyai arti simbolis, akan tetapi tidak ada ketentuan umum di sini.
Warna rias merah untuk wajah misalnya, sebagian besar menunjukkan sifat angkara murka, akan tetapi tokoh Setyaki yang memiliki warna rias muka merah bukanlah tokoh angkara murka.
Jadi karakter wayang tidaklah ditentukan oleh warna rias muka saja, tetapi juga ditentukan oleh unsur lain, seperti misalnya bentuk (patron) wayang itu sendiri.
Tokoh Arjuna, baik yang mempunyai warna muka hitam maupun kuning, adalah tetap Arjuna dengan sifat-sifatnya yang telah kita kenal. Perbedaan warna muka seperti ini hanya untuk membedakan ruang dan waktu pemunculannya.
Arjuna dengan warna muka kuning dipentaskan untuk adegan di dalam kraton, sedangkan Arjuna dengan warna muka hitam menunjukkan bahwa dia sedang dalam perjalanan.
Demikian pula halnya dengan tokoh Gatotkaca, Kresna, Werkudara dan lain-lain.
Perbedaan warna muka wayang ini tidak akan diketahui oleh penonton yang melihat pertunjukan dari belakang layar.
Alat penerangan yang dipakai dalam pertunjukan wayang kulit dari dahulu sampai sekarang telah banyak mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan teknologi.
Dalam bentuk aslinya alat penerangan yang dipakai pada pertunjukan wayang kulit adalah blencong, kemudian berkembang menjadi lampu minyak tanah (keceran), petromak, sekarang banyak yang menggunakan lampu listrik.