Di tengah perayaan Imlek yang semakin berwarna, wayang potehi muncul
sebagai salah satu ikon seni tradisional China. Lakon wayang diandalkan
untuk mewariskan nilai leluhur kepada generasi muda. Uniknya, saat terancam
punah, seni ini justru ditopang beberapa dalang yang orang Jawa asli.

Wayang potehi berbentuk boneka seperti wayang golek yang dibungkus
kantong kain. Lakon dimainkan satu dalang dengan dibantu satu asisten.
Tangan dalang dimasukkan dalam kantong untuk menggerakkan wayang dengan
jari. Sekitar tiga orang menabuh gamelan yang "gembrang-gembreng" dan agak
monoton.

Wayang potehi biasa digelar di kelenteng pada sore atau malam hari
sebagai pengiring upacara atau perayaan Imlek. Namun, menjelang Imlek
sekarang ini, sulit mencari pertunjukan wayang itu di Jakarta. Bisa
dikatakan, memang sudah tidak ada lagi kelompok wayang dan dalang di sini.

Jika pun ada pergelaran, dalang dan pemusik didatangkan dari daerah.
"Saya diundang untuk main di Jakarta dan Cilincing. Rencana minggu ini, tapi
diundur sampai minggu depan karena banjir," kata Subur (45), salah satu
dalang wayang potehi asal Sidoarjo, Jawa Timur.

Subur belajar mendalang sekitar 10 tahun dari dalang asal Surabaya,
almarhum Gan Tjo Tjo. Setelah punya kelompok wayang Fuk Ho An dan mendalang
mandiri sejak tahun 1994, kini dia termasuk dalang laris di Jakarta. Dalang
lain yang terkenal sudah sepuh, yaitu Thio Tiong Gie (74) asal Semarang,
Jawa Tengah.

Menurut pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Jawa
Universitas Indonesia (UI), Dwi Retno R Mastuti, wayang potehi berjaya
sekitar tahun 1930-an sampai 1960-an. Saat itu, ada lebih dari 50 dalang
yang memiliki kelompok wayang sendiri-sendiri. Seni ini rutin digelar di
kelenteng-kelenteng China di Jawa.

Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang melarang pertunjukan seni
China, menenggelamkan wayang tersebut. Seni tradisional ini pun sepi order,
penonton, apresiasi, dan kurang penerus. Wayang potehi baru menggeliat
kembali setelah Presiden Abdurrahman Wahid mencabut inpres itu.

Lama mati suri, dalang wayang potehi kini tinggal 20-an orang. Yang
menarik, selain Thio Tiong Gie, para dalang itu umumnya orang Jawa asli yang
tinggal di Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Sidoarjo, atau Blitar. Dalang
menyuarakan suluk dengan bahasa China, tetapi dialog menggunakan bahasa
Indonesia. Wayang potehi tumbuh sebagai bentuk akulturasi budaya China-Jawa
yang unik di tengah masyarakat Nusantara yang plural. (IAM)