Membuat Film Dokumenter / Film Indie
Dalam membuat film dokumenter yang kita rekam harus berdasarakan fakta yang ada. Jadi film dokumenter adalah suata film yang mengandung fakta dan subjektivitas pembuatnya. Artinya apa yang kita rekam memang berdasarkan fakta yang ada, namun dalam penyajiannya kita juga memasukkan pemikiran-pemikiran kita.
Dalam membuat film dokumenter ada langkah-langkah dan kiat bagaimana film yang kita produksi disenangi oleh penonton dan tidak memakan biaya yang besar saat memproduksinya.. Langkah yang harus kita tempuh dalam membuat film dokumenter adalah pertama, menentukan ide. Ide dalam membuat film dokumenter tidaklah harus pergi jauh-jauh dan memusingkan karena ide ini bisa timbul dimana saja seperti di sekeliling kita, di pinggir jalan, dan kadang ide yang kita anggap biasa ini yang menjadi sebuah ide yang menarik dan bagus diproduksi. Jadi mulailah kita untuk bepfikir supaya peka terhadap kejadian yang terjadi.
Kedua, menuliskan film statement. Film statement yaitu penulisan ide yang sudah ke kertas, sebagai panduan kita dilapangan saat pengambilan Angel. Jadi pada langkah kedua ini kita harus menyelesaikan skenario film dan memperbanyak referensi sehingga film yang kita buat telah kita kuasai seluk-beluknya.
Ketiga, membuat treatment atau outline. Outline disebut juga script dalam bahasa teknisnya. Script adalah cerita rekaan tentang film yang kita buat. script juga suatu gambar kerja keseluruhan kita dalam memproduksi film, jadi kerja kita akan lebih terarah. Ada beberapa fungsi script. Pertama script adalah alat struktural dan organizing yang dapat dijadikan referensi dan guide bagi semua orang yang terlibat. Jadi, dengan script kamu dapat mengkomunikasikan ide film ke seluruh crew produksi. Oleh karena itu script harus jelas dan imajinatif. Kedua, script penting untuk kerja kameramen karena dengan membaca script kameramen akan menangkap mood peristiwa ataupun masalah teknis yang berhubungan dengan kerjanya kameramen. Ketiga, script juga menjadi dasar kerja bagian produksi, karena dengan membaca script dapat diketahui kebutuhan dan yang kita butuhkan untuk memproduksi film. Keempat, script juga menjadi guide bagi editor karena dengan script kita bisa memperlihatkan struktur flim kita yang kita buat. Kelima, dengan script kita akan tahu siapa saja yang akan kita wawancarai dan kita butuhkan sebagai narasumber.
Keempat, mencatat shooting. Dalam langkah keempat ini ada dua yang harus kita catat yaitu shooting list dan shooting schedule. Shooting list yaitu catatan yang berisi perkiraan apa saja gambar yang dibutuhkan untuk flim yang kita buat. jadi saat merekam kita tidak akan membuang pita kaset dengan gambar yang tidak bermanfaat untuk film kita. Sedangkan shooting schedule adalah mencatat atau merencanakan terlebih dahulu jadwal shooting yang akan kita lakukan dalam pembuatan film.
Kelima, editing script. Langkah kelima ini sangat penting dalam pembuatan film. Biasa orang menyebutnya dengan pasca produksi dan ada juga yang bilang film ini terjadinya di meja editor. Dalam melakukan pengeditan kita harus menyiapkan tiga hal adalah menbuat transkip wawancara, membuat logging gambar, dan membuat editing script. Dalam membuat transkipsi wawancara kita harus menuliskan secara mendetail dan terperinci data wawancara kita dengan subjek dengan jelas.
Membuat logging gambar ini maksudnya, membuat daftar gambar dari kaset hasil shuuting dengan detail, mencatat team code-nya serta di kaset berapa gambar itu ada. Terakhir ini merupakan tugas filmmaker yang membutuhkan kesabaran karena membuat editing scrip ini kita harus mempreview kembali hasil rekaman kita tadi ditelevisi supaya dapat melihat hasil gambar yang kita ambil tadi dengan jelas. Dengan begitu kita akan mebuat sebuah gabungan dari Outline atau cerita rekaan menjadi sebuah kenyataan yang dapat menjadi petunjuk bagi editor.
Budaya, Peran Film Dokumenter dan Advokasi LH
March 5th, 2008 | Oleh Lutfi Pratomo
JAKARTA—Usai acara Sout-to South Film Festival 2 Vote For Life 2008 yang digelar Lembaga Jaringan Advokasi Tambang di Goethe Institut. Kini, P4W Institut Pertanian Bogor menggelar rangkaian acara; pemutaran film, pameran foto, diskusi buku, workshop, dengan tema “Membaca Lingkungan Dan Budaya” (20 Februari-20 Maret 2008). Meski peserta yang datang sepi namun semangat dan peduli terhadap lingkungan yang hadir sangat antusias sekali (14/02).
Menurut budayawan W.S Rendra, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan semestinya mengembalikan hukum adat yang kini sudah mulai punah. “Coba kalau kita menelisik sejarah bagaimana peran masyarakat adat yang memelihara alam serta bergantung pada alam tanpa harus mengespoitasinya, itu yang harus kita coba pelajari,” ujarnya.
Selain itu, Cristian Purba dari Forest Wacth Indonesia, mengemukakan bahwa peran adat sangat penting dalam menyelamatkan hutan meski perjuangan yang dilakukan hanya segelintir orang memerhatikan dan menjalaninya, seperti yang ada di film Sui Utik yang menceritakan perjuangan Suku Dayak mempertahankan keanekaragaman hayati hutannya dari mafia-mafia kayu.
Peran film dokumenter dalam advokasi lingkungan hidup memang sangat penting, bagaimana film bisa menjelaskan dan menyadarkan masyarakat dengan menusuk emosi dan perasaan penonton untuk peduli terhadap kondisi lingkungan hidup yang kian parah.
Peserta yang hadir dalam diskusi pun menyetujui bahwa peran adat dan media film dokumenter sebagai advokasi lingkungan hidup sangat mengenai sasaran. Sementara itu, diskusi dan pemutaran film dokumenter lingkungan hidup tidak berhenti di acara ini. Namun, masih ada lagi pemutaran film lingkungan hidup yang bakal diadakan oleh Gerilya “Kedai Petualang” bekerjasama dengan Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam Uhamka (IMAPALA) dalam acara HUT organisasinya tanggal 14-17 Maret 2008 di kampus Universitas Muhammadyah Prof. DR. Hamka Jakarta Timur.
Adapun film yang bakal diputar yakni, Sui Utik, Bagaimana Adat Berperan Melindungi Hutan (FWI/Gekko 2006), Commnity Logging : Answering the Forest (FWI, TELAPAK, JAUH, Gekko 2007), Rinjani : Jantung Kehidupan Lombok (WWF Indonesia / Gekko 2007), Aku Pulang; Bencana Lumpur Lapindo (Walhi), Action, Terbang Tanpa Sayap II (Profauna Indonesia), dan Sawit Berdarah (COP).
Film Dokumenter Masih 'Teler'
INILAH.COM, Jakarta – Belum bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Begitulah nasib film dokumenter nasional. Lantaran kurang diminati penonton, para pelaku industri film pun tak bergairah membuatnya. Padahal, film jenis ini punya nilai tersendiri.
Film dokumenter adalah seni audio-visual yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Menggambarkan situasi dan kondisi yang pernah terjadi. Artinya, jalan cerita dan penokohan dalam film dokumenter dibuat berdasarkan fakta masa lalu.
Tapi, di Indonesia, film-film dokumenter kekurangan peminat. Masyarakat lebih menyukai film-film fiksi, terutama yang berintikan cerita roman. Padahal, di negara maju, film dokumenter termasuk yang ditunggu karena bermuatan sejarah dan masyarakat mereka memang sangat menghargai sejarah.
"Film dokumenter di Indonesia masih terbelakang, terutama dari segi cerita. Pasalnya, banyak sutradara pembuat film lebih memilih membuat film bioskop atau film televisi yang lebih bersifat komersial," ujar Marselli Sumarno, sutradara pemenang Piala Citra.
Marselli, sutradara film Sang Budha Bersemayam di Borobudur yang juga Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menambahkan, sebenarnya masih banyak cerita realitas atau aktivitas nyata yang layak difilmkan dan tetap bisa mendatangkan penghasilan jika dijual. Marselli juga menilai, yang paling dibutuhkan dalam membuat film dokumenter adalah ketekunan. "Lihat saja orang-orang asing yang membuat film dokumenter tentang binatang di Benua Afrika. Mereka rela mengamati berbulan-bulan untuk mendapatkan footage yang mereka inginkan," ujarnya.
Sebuah situs komunitas pemerhati film dokumenter, komunitas-dokumenter.org, menyebutkan bahwa film dokumenter Indonesia bermasalah dalam hal sosialisasi.
"Selain pemahaman masyarakat umum yang masih terbatas, film dokumenter juga belum mendapat perhatian yang cukup di lingkungan perfilman sendiri," tulis situs tersebut.
Dijelaskan juga bahwa film dokumenter yang diikutkan dalam Festival Film
Indonesia (FFI), sebagai representasi utama perkembangan perfilman Indonesia, masih menempatkan film dokumenter di posisi yang sangat minor.
Tapi, peranan program acara seperti Eagle Award yang dilaksanakan rutin dalam tiga tahun terakhir oleh salah satu stasiun televisi swasta Indonesia dan beberapa festival film di Tanah Air yang dalam beberapa tahun terakhir muncul seperti JIFFEST, JAFF, dan Festiival KONFIDEN telah coba menempatkan film dokumenter sebagai bagian penting dalam kegiatannya.
Sutradara film dokumenter Tony Trimarsanto mengatakan, film dokumenter di Tanah Air mulai bisa berkembang. "Dengan adanya beberapa festival film, JIFFEST misalnya, film dokumenter Indonesia mulai mendapat perhatian dari masyarakat," ujar sutradara film dokumenter Serambi ini.
Tony mengakui, film dokumenter lambat berkembang di Indonesia karena ada pengaruh dari terlalu ketatnya kontrol pemerintah di zaman Orde Baru. Ketika itu, dalam rentang relatif panjang, film dokumenter yang berbau politik dianggap sebagai propaganda.
"Film dokumenter adalah karya yang sebenarnya dekat dengan publik. Ia tak lebih dari sebuah jendela yang menghantarkan kita pada serangkaian fakta yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari," ujar Tony, sutradara film dokumenter Gerabah Plastik dan The Dream Land.
Di sisi lain, Marselli yakin di masa mendatang film dokumenter lokal bisa ditayangkan di bioskop dan bersaing dengan film-film komersial lainnya.
"Kan banyak kejadian dramatik yang layak difilmkan. Sebutlah badai tsunami atau gempa bumi di Yogyakarta. Lagipula sekarang kan hampir semua orang punya ponsel dengan kamera sehingga bisa manfaatkan footage-footage dari orang yang secara spontan mengabadikan sebuah kejadian," kata Marselli.
Film dokumenter sampai saat ini memang baru mampu unjuk gigi di festival film internasional. Tidak seperti Michael Moore yang sukses film dokumenter Fahrenheit 9/11 tentang situasi politik AS dan film An Inconvinient Truth garapan Al-Gore tentang pemanasan global. Keduanya mampu berdiri sejajar dengan film-film box office.
Film dokumenter Indonesia tidak berdaya di negeri sendiri. Padahal, di berbagai festival internasional, acap kali mendapatkan penghargaan.
Film Gerabah Plastik karya Tonny menang di Festival Film Dokumenter (FFD) 2002, film Sang Budha Bersemayam di Borobudur karya Marselli masuk lima besar Religion Today Film Festival 2007 di Italia.
Kapan dong film-film dokumenter nasional bisa bikin ngiler? Bikin pembuat dan penontonnya sama-sama on fire?
Menurut Marselli dan Tony, problem bukan terletak pada rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, melainkan karena lemahnya pola pemasaran. Jadi, perlu sinergi dengan berbagai pihak untuk membenahinya.
Film dokumenter
Film dokumenter adalah film yang mendokumentasikan kenyataan. Istilah "dokumenter" pertama digunakan dalam resensi film Moana (1926) oleh Robert Flaherty, ditulis oleh The Moviegoer, nama samaran John Grierson, di New York Sun pada tanggal 8 Februari 1926.
Di Perancis, istilah dokumenter digunakan untuk semua film non-fiksi, termasuk film mengenai perjalanan dan film pendidikan. Berdasarkan definisi ini, film-film pertama semua adalah film dokumenter. Mereka merekam hal sehari-hari, misalnya kereta api masuk ke stasiun. pada dasarnya, film dokumenter merepresentasikan kenyataan. Artinya film dokumenter berarti menampilkan kembali fakta yang ada dalam kehidupan.
Dokudrama
Pada perkembangannya, muncul sebuah istilah baru yakni Dokudrama. Dokudrama adalah genre dokumenter dimana pada beberapa bagian film disutradarai atau diatur terlebih dahulu dengan perencanaan yang detail. Dokudrama muncul sebagai solusi atas permasalahan mendasar film dokumenter, yakni untuk memfilmkan peristiwa yang sudah ataupun belum pernah terjadi.
Dokumenter Modern
Para analis Box Office telah mencatat bahwa genre film ini telah menjadi semakin sukses di bioskop-bioskop melalui film-film seperti Super Size Me, March of the Penguins dan An Inconvenient Truth. Bila dibandingkan dengan film-film naratif dramatik, film dokumenter biasanya dibuat dengan anggaran yang jauh lebih murah. Hal ini cukup menarik bagi perusahaan-perusahaan film sebab hanya dengan rilis bioskop yang terbatas dapat menghasilkan laba yang cukup besar.
Perkembangan film dokumenter cukup pesat semenjak era cinema verité. Film-film termasyhur seperti The Thin Blue Line karya Errol Morris stylized re-enactments, dan karya Michael Moore: Roger & Me menempatkan kontrol sutradara yang jauh lebih interpretatif. Pada kenyataannya, sukses komersial dari dokumenter-dokumenter tersebut barangkali disebabkan oleh pergeseran gaya naratif dalam dokumenter. Hal ini menimbulkan perdebatan apakah film seperti ini dapat benar-benar disebut sebagai film dokumenter; kritikus kadang menyebut film-film semacam ini sebagai mondo films atau docu-ganda.[1] Bagaimanapun juga, manipulasi penyutradaraan pada subyek-subyek dokumenter telah ada sejak era Flaherty, dan menjadi semacam endemik pada genrenya.
Kesuksesan mutakhir pada genre dokumenter, dan kemunculannya pada keping-keping DVD, telah membuat film dokumenter menangguk keuntungan finansial meski tanpa rilis di bioskop. Meski begitu pendanaan film dokumenter tetap eksklusif, dan sepanjang dasawarsa lalu telah muncul peluang-peluang eksibisi terbesar dari pasar penyiaran. Ini yang membuat para sineas dokumenter tertarik untuk mempertahankan gaya mereka, dan turut mempengaruhi para pengusaha penyiaran yang telah menjadi donatur terbesar mereka.[2]
Dokumenter modern saling tumpang tindih dengan program-program televisi, dengan kemunculan reality show yang sering dianggap sebagai dokumenter namun pada kenyataannya kerap merupakan kisah-kisah fiktif. Juga bermunculan produksi dokumenter the making-of yang menyajikan proses produksi suatu Film atau video game. Dokumenter yang dibuat dengan tujuan promosi ini lebih dekat kepada iklan daripada dokumenter klasik.
Kamera video digital modern yang ringan dan editing terkomputerisasi telah memberi sumbangan besar pada para sineas dokumenter, sebanding dengan murahnya harga peralatan. Film pertama yang dibuat dengan berbagai kemudahan fasilitas ini adalah dokumenter karya Martin Kunert dan Eric Manes: Voices of Iraq, dimana 150 buah kamera DV dikirim ke Iraq sepanjang perang dan dibagikan kepada warga Irak untuk merekam diri mereka sendiri.
Bentuk Dokumenter Lainnya
Film Kompilasi
Film kompilasi dicetuskan pada tahun 1927 oleh Esfir Shub dengan film berjudul The Fall of the Romanov Dynasty. Contoh-contoh berikutnya termasuk Point of Order (1964) yang disutradarai oleh Emile de Antonio mengenai pesan-pesan McCarthy dan The Atomic Cafe yang disusun dari footage-footage yang dibuat oleh pemerintah AS mengenai keamanan radiasi nuklir (misalnya, memberitahukan pada pasukan di suatu lokasi bahwa mereka tetap aman dari radiasi selama mereka menutup mata dan mulut mereka). Hampir mirip dengannya adalah dokumenter The Last Cigarette yang memadukan testimoni dari para eksekutif perusahaan-perusahaan tembakau di depan sidang parlemen AS yang mengkampanyekan keuntungan-keuntungan merokok.
Membuat Film Itu Sederhana tetapi Tidak Mudah
Yogyakarta – Bermain dengan kamera handycam adalah sebuah kegemaran tersendiri bagi masyarakat akhir-akhir ini. Popularitas handycam mencuat didukung oleh kemunculan komunitas-komunitas independent (indie) pembuat film. Ada banyak komunitas film independent yang ada di Yogyakarta, seperti Kelompok Belajar Bikin Film (KBBF), Komunitas Film Dokumenter, Rumah Sinema, Etnorefrika dan masih banyak lagi. Bahkan Sampoerna pun juga mempunyai program Bikin Film itu Mudah untuk siswa-siswi SMP dan SMU, manualnya pembuatan film secara sederhana pun sudah dipublikasikan dalam bentuk VCD.
Ada bermacam-macam kamera yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi hobi ini, dari yang manual sampai pada digital. Sudah banyak pula ditawarkan jenis-jenis kamera yang sekaligus bisa digunakan untuk merekam gambar bergerak, sebut saja namanya Handycam. Bentuknya semakin sederhana akan tetapi fungsinya jauh lebih lengkap dibandingkan dengan kamera-kamera sebelumnya.
Dari sinilah awal mula munculnya komunitas-komunitas pembuat film independent itu bermunculan, sebut saja namanya indie community. Komunitas pembuat film ini tidak perlu mengikuti pakem-pakem perfilman yang ada, akan tetapi mereka selalu mencari bentuk yang berbeda dari film-film di pasaran. Film-film yang dihasilkan pun cukup unik dan hanya diminati kalangan tertentu saja. Di Jogja, ada sebuah komunitas film dokumenter yang setiap tahunnya selalu menyelenggarakan acara festival film dokumenter.
Tahun 2003 lalu adalah tahun kedua pembuatan festival film dokumenter (FFD) tersebut. ”Film kita masuk nominasi penghargaan khusus pada festival kemarin. Sebenarnya kita hanya pengen belajar handycam untuk ngisi libur lebaran, trus ada teman yang mengajak bikin film untuk diikutkan pada festival tahun lalu. Wah…seruuu banget!! Selain banyak pengalaman mengenal lebih dalam tentang abdi dalem, juga saya jadi tahu siapa sebenarnya mereka di Keraton Yogyakarta,’’ ucap Rima salah seorang peserta FFD yang membuat dokumentasi tentang abdi dalem bersama teman-temannya.
Dokumentasi sederhana bisa dilakukan oleh siapa saja dan kapan saja, tanpa dibatasi dengan pakem-pakem tertentu. Michael Rabiger mengatakan bahwa proses dokumentasi itu tidak tergantung dari waktu yang sudah lewat ataupun baru-baru saja, akan tetapi juga bisa dokumentasi masa depan. Beberapa unsur-unsur dalam film dokumenter antara lain: memperhatikan tempat dan waktu, mengangkat tema-tema yang aktual, sebagai kritik sosial, menyampaikan realitas dan aktualitas, membuka pola pikir seseorang dan bisa juga berbentuk rangkaian cerita mendalam. Beberapa pandangan tersebut bisa dijadikan guide line untuk membuat dokumentasi sederhana.
Sulit Sederhana
Bikin film itu sederhana tetapi tidak mudah. Mengapa? Pertama, kita harus tahu apa tujuan kita membuat film itu sendiri. Meskipun membuat film dokumenter sekalipun, kita harus tahu tujuan membuat film dokumenter tersebut. Mengapa disebut dokumenter karena dokumenter identik dengan realitas kehidupan, segala sesuatu yang aktual dan tidak dibuat-buat. Akan tetapi tetap saja yang namanya film itu adalah gambar bikin-bikinan. Artinya kita bisa mengatur apa saja untuk mendapatkan gambar seperti yang kita inginkan.
Kedua, setiap film dokumenter harus disertai dengan riset mendalam tentang materi yang akan ditampilkan. Riset ini bisa dilakukan dengan wawancara, studi pustaka dan lainnya. Pokoknya bisa mengumpulkan data sebanyak dan selengkap mungkin tentang topik yang akan kita angkat. Sesuai dengan napasnya yang dokumenter tersebut, maka akan lebih menarik jika kita tidak terlalu membuat bikin-bikinan gambar. Dari riset itu kemudian dibuat naskah cerita yang dituangkan dalam story board (cerita bergambar). Dari sinilah dimulainya pengambilan gambar menggunakan handycam. Panjang pendeknya gambar yang diambil disesuaikan dengan story board yang telah dibuat. Teknik pengambilan gambar ini tidak perlu sempurna karena masih akan mengalami proses editing. Yang perlu diperhatikan pada teknik pengambilan gambar ini adalah objek yang kita ambil haruslah jelas terlihat dan usahakan meminimalisasi backsound gambar tersebut. Proses ini yang akan mengemas gambar yang telah kita ambil menjadi rangkaian cerita film. Dalam peng-editan film biasanya seorang editor sudah mahir dengan teknik-teknik penambahan effect yang digunakan untuk membuat film dokumenter agar sesuai dengan realitas kehidupan sebenarnya. Seorang editor haruslah mengabdi pada film yang dibuat dan bukan film yang mengabdi pada editor. Begitulah kira-kira proses pembuatan film dokumenter tersebut dilakukan.
Ketiga, membuat film dokumenter itu sederhana karena peralatan yang digunakan pun sederhana. Hanya dengan berbekal handycam pun kita bisa membuat film di mana saja dan kapan saja. Tidak perlu alat-alat yang canggih untuk membuat sebuah film. Biaya yang dikeluarkan pun juga murah, hanya dengan modal dua kaset handycam setiap orang sudah bisa membuat film. Satu kaset berdurasi 60 menit, jadi bisa dibayangkan berapa banyaknya gambar yang bisa diambil. Tidak ada salahnya Anda mencoba.
(Yustina Wahyuningsih, pehobi film indie, tinggal di Yogyakarta)
Riset Dalam Film Dokumenter
Film dokumenter merupakan penemuan baru untuk mengatasi kegelisahan orang atas hilangnya pengalaman visual. Karena peristiwa berlalu dengan cepat maka orang sering membuat ikon atau tiruan dari kenangan tersebut, misalnya foto kekasih di dompet, meja, dsb.
Dalam kenyataannya selalu ada kesenjangan antar visual yang dibuat kamera dengan kondisi nyata. Sekarang menjadi bertambah kompleks, karena ada suara, warna, dll sehingga semakin tdak sesuai dengan realita. Kita melihat realita dengan sepotong-sepotong, misal melihat seseorang tdak bisa menyeluruh.
Dengan demikian imej visual sangat dibutuhkan . Foto dan film bisa membantu, tapi juga bisa mengganggu. Tampilan bisa melampaui kebutuhan kita. Kamera menampilkan apa yang tidak bisa kita tangkap. Mata biologis hanya melihat apa yg ingin kita lihat. Maka imej visual yang kemudian kita anggap sebagai dokumen -karena diperlakukan sebagai arsip dan disimpan sebagai data- melampui kebutuhan orang yang membuat film. Maka pertanyaan yang kemudian muncul adalah : Apakah film dokumenter memenuhi kebutuhan obyektif suatu riset?
Bisa dikategorikan sebagai obyektif karena secara mekanik, digital dan sebagian chemic. Mata biologis pun mengambil obyek yang memang benar-benar kita butuhkan. Peristiwa ini kemudian diubah menjadi obyek penelitian. Penelitian itu sendiri tidak ada yang benar-benar obyektif. Lalu untuk apa riset ini?
Kalau hanya untuk kebutuhan filing system, maka penelitian hanya berhenti di lemari, tapi riset ini adalah riset transformasi. Riset perfilman menjadi bagian dari transformasi itu sendiri. Dari tayangan film orang dapat merefleksi dirinya sendiri sehingga ia dapat merubah dirinya sendiri. Jadi film bisa membentuk kenyataan. Ada dialektika antara film dengan kehidupan sehari-hari. Dalam konteks besar orang menyebutnya sebagai proses mediasi, dari citra visual, menjadi mediasi untuk membentuk realita.
Untuk membuat film dibutuhkan riset yg reflektif, tentang polah obyek, isu-isu yang berkembang, dsb. Riset dalam Film Dokumenter dianggap penting dalam penciptaan film dokumenter. Di Indonesia sendiri, pendanaan untuk riset film-film dokumenter dinilai masih sangat kurang. Dalam proses produksi film dokumenter, riset yang efektif dilakukan selama dua bulan. Hal ini berhubungan dengan pengalaman Garin Nugroho saat bekerjasama dengan NHK Jepang.
Dalam analisis terhadap hasil riset, banyak orang menganalisanya tanpa tahu jenis dokumenter apa yang akan dibuatnya. Riset sendiri bersifat kompleks karena harus mampu mengorganisir manajemen teknik, ide, lokasi dan lain-lain.
Untuk itu tim riset yang dibentuk harus komprehensif, bisa memadukan sebuah bentuk organisasi yang struktural dengan organisasi yang non struktural. Hal ini bisa menciptakan ide-ide yang �gila� dan tidak terduga. Dalam riset lapangan juga diperlukan orang yang memang benar-benar paham lokasi shooting. Seorang sutradara tidak mencari periset yang dekat dengan dirinya tetapi seorang periset yang mengerti kondisi lokasi. Dengan kata lain, baik periset maupun tim produksi sepenuhnya mengabdi pada film yang akan diproduksi.
Kelemahan dari pencipta film adalah mencari tim periset dengan ego pribadi. Ambisi pencipta fim adalah ambisi terhadap fim itu sendiri. Misal untuk membuat film yang berhubungan dengan kehidupan anak jalanan dibutuhkan pendamping-pendamping anak jalanan yang benar-benar mengerti kehidupan mereka. Pendamping pun ternyata berbeda-beda. Ada pendamping yang mengerti masalah psikologi anak, masalah penampilan, dsb. Jadi langkah awal yang perlu diperhatikan dalam membentuk tim riset adalah mengerti benar kegunaan atau jenis film tersebut sehingga tim yang terbentuk adalah tim yang tahu kegunaan film tersebut. Seringkali yang terjadi di langkah awal pembentukan tim riset ini adalah seorang pencipta film lebih mengutamakan egoismenya sehingga film itu sendiri tidak lagi menjadi masalah yang penting.
Riset itu sendiri memiliki bidang kerja yang berbeda-beda. Untuk melakukan riset terhadap subjek dan wilayah memerlukan berbagai macam disiplin ilmu, sosial, politik, sosiologi, dll. Misalnya membuat film tentang Papua, pencipta film harus tahu dimana saja wilayah konflik, suku apa saja yang mendiami tempat tersebut, bagaimana hubungan antar suku atau penduduknya, dsb. Sedangkan untuk riset yang berhubungan dengan administratif kerja harus tahu tempat-tempat yang dibutuhkan untuk mendukung tim kerja, misalnya jadwal buka POM Bensin, informasi tentang hotel, jarak dan waktu, transportasi, dsb. Tim periset juga harus bisa bekerjasama dengan kru-kru lokal yang mengerti persis keadaan lokasi, misal saat shooting di Aceh akan lebih baik merengkrut sopir yang tahu atau kenal dengan GAM sehingga memudahkan transportasi, dsb. Saat melakukan pembuatan film di daerah-daerah konflik, mutlak dibutuhkan regu pengaman, aparat desa, ketua agama. dll. Di daerah konflik juga dibutuhkan kemampuan berdiplomasi.
Riset tentang SDM dan hal-hal lain mutlak penting bahkan untuk hal-hal sekecil apapun sehingga tidak ada pertanyan-pertanyaan yang menghambat kelancaran pembuatan film.
Pembuat film harus tahu SDM yang terlibat secara personal. Ia juga mengetahui dan mengerti kelemahan dan kelebihan setiap anggota tim, bila perlu tes langsung. Hal yang harus diperhatikan juga pada riset SDM adalah watak tiap kru sehingga dapat saling melengkapi. Fokus dan pengembangan ide film akan lebih mudah apabila masalah-masalah teknis di sekitar lokasi shooting telah teratasi dengan baik.
Dari segi teknis kamera, riset yang baik bisa sekaligus memenuhi kebutuhan dalam pengambilan-pengambilan gambar. Periset yang baik juga harus memperhatikan bagaimana posisi atau penempatan kamera yang baik , semisal pembuat film menginginkan gambar yang dramatis di pagi hari. Posisi kamera sudah mengerti tempat atau angle yang baik untuk men-shoot matahari, bagaimana komposisi yang baik, dari segi suara dan sebagainya sehingga hasil gambar sesuai dengan yang diinginkan. Terkadang periset juga harus membuat peta wilayah tersebut sampai pada tingkat bagaimana curah hujan (kemungkinan longsor, misal), dan sebagainya.
Riset juga berhubungan dengan tema film. Riset tema film berhubungan dengan penguasaan pada wacana yang menyangkut disiplin ilmu dan kebutuhan mendiskripsikannya ke bentuk visual. Periset harus tahu alasan suatu wacana, dan dapat menuangkan ke dalam bentuk visual. Pendampingan kepustakaan dan ahli lokal juga penting dan harus dilakukan.
Seluruh point-point riset ini dikumpulkan dan dibuat point-point detail, dari jenis huruf, peta daerah, hingga pemotretan secara detail. Bila unsur-unsur periset terpenuhi, sutradara atau filmaker akan enak sekali dalam pembuatan film lebih lanjut. Segalanya bisa dilakukan dengan cepat, tepat dan pasti.
Metode riset yang akan digunakan berkaitan dengan pengembangan ide. Seringkali para pembuat film tidak tahu harus berangkat darimana saat akan menentukan tema film yang akan diangkat. Oleh karena itu dilakukan klasifikasi terhadap subyek, misal tentang Kalimantan. Kalimantan bisa dikategorikan menjadi hutan, sungai atau faktor-faktor sosial lainnya. Kemudian menentukan keterkaitan antara klasifikasi tersebut dengan kehidupan sosial, seni, dll yang diperinci lagi, misalnya jenis perahu yang digunakan, hewan-hewan yang ada di sekitarnya, dsb sehingga tema bisa berkembang dari temuan-temuan seperti itu.
(Dikutip dari berbagai sumber)
Membuat Film Dokumenter?!
Membuat film bukanlah suata hal yang sulit. Jika kita ingin membuat film, maka kita harus lebih dulu
tahu pengertian film dan jenis apa yang akan kita buat. Cara membuat film dokumenter yang ditulis oleh Fajar Nugroho dalam bukunya ini dapat membimbing kita dalam proses pembuatan film dokumenter. Kurangnya minat masyarakat kita terhadap film dokumenter karena film dokumenter dahulunya mengunakan topik yang kaku dan tidak menghibur penonton.
Dalam membuat film dokumenter yang kita rekam harus berdasarakan fakta yang ada. Jadi film dokumenter adalah suata film yang mengandung fakta dan subjektivitas pembuatnya. Artinya apa yang kita rekam memang berdasarkan fakta yang ada, namun dalam penyajiannya kita juga memasukkan pemikiran-pemikiran kita.
Dalam membuat film dokumenter ada langkah-langkah dan kiat bagaimana film yag kita produksi disenangi oleh penonton dan tidak memakan biaya yang besar saat memproduksinya.. Langkah yang harus kita tempuh dalam membuat film dokumenter adalah pertama, menentukan ide. Ide dalam membuat film dokumenter tidaklah harus pergi jauh-jauh dan memusingkan karena ide ini bisa timbul dimana saja seperti di sekeliling kita, di pinggir jalan, dan kadang ide yang kita anggap biasa ini yang menjadi sebuah ide yang menarik dan bagus diproduksi. Jadi mulailah kita untuk bepfikir supaya peka terhadap kejadian yang terjadi.
Kedua, menuliskan film statement. Film statement yaitu penulisan ide yang sudah ke kertas, sebagai panduan kita dilapangan saat pengambilan Angel. Jadi pada langkah kedua ini kita harus menyelesaikan skenario film dan memperbanyak referensi sehingga film yang kita buat telah kita kuasai seluk-beluknya.
Ketiga, membuat treatment atau outline. Outline disebut juga script dalam bahasa teknisnya. Script adalah cerita rekaan tentang film yang kita buat. script juga suatu gambar kerja keseluruhan kita dalam memproduksi film, jadi kerja kita akan lebih terarah. Ada beberapa fungsi script. Pertama script adalah alat struktural dan organizing yang dapat dijadikan referensi dan guide bagi semua orang yang terlibat. Jadi, dengan script kamu dapat mengkomunikasikan ide film ke seluruh crew produksi. Oleh karena itu script harus jelas dan imajinatif. Kedua, script penting untuk kerja kameramen karena dengan membaca script kameramen akan menangkap mood peristiwa ataupun masalah teknis yang berhubungan dengan kerjanya kameramen. Ketiga, script juga menjadi dasar kerja bagian produksi, karena dengan membaca script dapat diketahui kebutuhan dan yang kita butuhkan untuk memproduksi film. Keempat, script juga menjadi guide bagi editor karena dengan script kita bisa memperlihatkan struktur flim kita yang kita buat. Kelima, dengan script kita akan tahu siapa saja yang akan kita wawancarai dan kita butuhkan sebagai narasumber.
Keempat, mencatat shooting. Dalam langkah keempat ini ada dua yang harus kita catat yaitu shooting list dan shooting schedule. Shooting list yaitu catatan yang berisi perkiraan apa saja gambar yang dibutuhkan untuk flim yang kita buat. jadi saat merekam kita tidak akan membuang pita kaset dengan gambar yang tidak bermanfaat untuk film kita. Sedangkan shooting schedule adalah mencatat atau merencanakan terlebih dahulu jadwal shooting yang akan kita lakukan dalam pembuatan film.
Kelima, editing script. Langkah kelima ini sangat penting dalam pembuatan film. Biasa orang menyebutnya dengan pasca produksi dan ada juga yang bilang film ini terjadinya di meja editor. Dalam melakukan pengeditan kita harus menyiapkan tiga hal adalah menbuat transkip wawancara, membuat logging gambar, dan membuat editing script. Dalam membuat transkipsi wawancara kita harus menuliskan secara mendetail dan terperinci data wawancara kita dengan subjek dengan jelas.
Membuat logging gambar ini maksudnya, membuat daftar gambar dari kaset hasil shuuting dengan detail, mencatat team code-nya serta di kaset berapa gambar itu ada. Terakhir ini merupakan tugas filmmaker yang membutuhkan kesabaran karena membuat editing scrip ini kita harus mempreview kembali hasil rekaman kita tadi ditelevisi supaya dapat melihat hasil gambar yang kita ambil tadi dengan jelas. Dengan begitu kita akan mebuat sebuah gabungan dari Outline atau cerita rekaan menjadi sebuah kenyataan yang dapat menjadi petunjuk bagi editor.
Dengan meneyelesaikan langkah di atas maka kita mecoba mencari sponsor untuk memutar film di khalayak umum. Jika sudah ada maka anda siap-siap jadi orang terkenal. Jadi sekarang tunggu apalagi bagi filmmaker pemula mulailah tunjukan bahwa karya kamu dapat dinikmati dan menarik untuk di tonton oleh semua kalangan.