INILAH.COM, Jakarta – Belum bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Begitulah nasib film dokumenter nasional. Lantaran kurang diminati penonton, para pelaku industri film pun tak bergairah membuatnya. Padahal, film jenis ini punya nilai tersendiri.

Film dokumenter adalah seni audio-visual yang dibuat berdasarkan kisah nyata. Menggambarkan situasi dan kondisi yang pernah terjadi. Artinya, jalan cerita dan penokohan dalam film dokumenter dibuat berdasarkan fakta masa lalu.

Tapi, di Indonesia, film-film dokumenter kekurangan peminat. Masyarakat lebih menyukai film-film fiksi, terutama yang berintikan cerita roman. Padahal, di negara maju, film dokumenter termasuk yang ditunggu karena bermuatan sejarah dan masyarakat mereka memang sangat menghargai sejarah.

"Film dokumenter di Indonesia masih terbelakang, terutama dari segi cerita. Pasalnya, banyak sutradara pembuat film lebih memilih membuat film bioskop atau film televisi yang lebih bersifat komersial," ujar Marselli Sumarno, sutradara pemenang Piala Citra.

Marselli, sutradara film Sang Budha Bersemayam di Borobudur yang juga Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menambahkan, sebenarnya masih banyak cerita realitas atau aktivitas nyata yang layak difilmkan dan tetap bisa mendatangkan penghasilan jika dijual. Marselli juga menilai, yang paling dibutuhkan dalam membuat film dokumenter adalah ketekunan. "Lihat saja orang-orang asing yang membuat film dokumenter tentang binatang di Benua Afrika. Mereka rela mengamati berbulan-bulan untuk mendapatkan footage yang mereka inginkan," ujarnya.

Sebuah situs komunitas pemerhati film dokumenter, komunitas-dokumenter.org, menyebutkan bahwa film dokumenter Indonesia bermasalah dalam hal sosialisasi.

"Selain pemahaman masyarakat umum yang masih terbatas, film dokumenter juga belum mendapat perhatian yang cukup di lingkungan perfilman sendiri," tulis situs tersebut.

Dijelaskan juga bahwa film dokumenter yang diikutkan dalam Festival Film

Indonesia (FFI), sebagai representasi utama perkembangan perfilman Indonesia, masih menempatkan film dokumenter di posisi yang sangat minor.

Tapi, peranan program acara seperti Eagle Award yang dilaksanakan rutin dalam tiga tahun terakhir oleh salah satu stasiun televisi swasta Indonesia dan beberapa festival film di Tanah Air yang dalam beberapa tahun terakhir muncul seperti JIFFEST, JAFF, dan Festiival KONFIDEN telah coba menempatkan film dokumenter sebagai bagian penting dalam kegiatannya.

Sutradara film dokumenter Tony Trimarsanto mengatakan, film dokumenter di Tanah Air mulai bisa berkembang. "Dengan adanya beberapa festival film, JIFFEST misalnya, film dokumenter Indonesia mulai mendapat perhatian dari masyarakat," ujar sutradara film dokumenter Serambi ini.

Tony mengakui, film dokumenter lambat berkembang di Indonesia karena ada pengaruh dari terlalu ketatnya kontrol pemerintah di zaman Orde Baru. Ketika itu, dalam rentang relatif panjang, film dokumenter yang berbau politik dianggap sebagai propaganda.

"Film dokumenter adalah karya yang sebenarnya dekat dengan publik. Ia tak lebih dari sebuah jendela yang menghantarkan kita pada serangkaian fakta yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari," ujar Tony, sutradara film dokumenter Gerabah Plastik dan The Dream Land.

Di sisi lain, Marselli yakin di masa mendatang film dokumenter lokal bisa ditayangkan di bioskop dan bersaing dengan film-film komersial lainnya.

"Kan banyak kejadian dramatik yang layak difilmkan. Sebutlah badai tsunami atau gempa bumi di Yogyakarta. Lagipula sekarang kan hampir semua orang punya ponsel dengan kamera sehingga bisa manfaatkan footage-footage dari orang yang secara spontan mengabadikan sebuah kejadian," kata Marselli.

Film dokumenter sampai saat ini memang baru mampu unjuk gigi di festival film internasional. Tidak seperti Michael Moore yang sukses film dokumenter Fahrenheit 9/11 tentang situasi politik AS dan film An Inconvinient Truth garapan Al-Gore tentang pemanasan global. Keduanya mampu berdiri sejajar dengan film-film box office.

Film dokumenter Indonesia tidak berdaya di negeri sendiri. Padahal, di berbagai festival internasional, acap kali mendapatkan penghargaan.

Film Gerabah Plastik karya Tonny menang di Festival Film Dokumenter (FFD) 2002, film Sang Budha Bersemayam di Borobudur karya Marselli masuk lima besar Religion Today Film Festival 2007 di Italia.

Kapan dong film-film dokumenter nasional bisa bikin ngiler? Bikin pembuat dan penontonnya sama-sama on fire?

Menurut Marselli dan Tony, problem bukan terletak pada rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, melainkan karena lemahnya pola pemasaran. Jadi, perlu sinergi dengan berbagai pihak untuk membenahinya.