Oleh : Tengky Widjanarkoe


Brrraaaakkkkkk!!!!!!
Sebuah truck menghantam sepeda motor apik yang sedang menyebrang jalan. Motornya penyok. Cat bagus dan mengkilap motor tersebut segera hilang karena body motor tersebut terkena goresan-goresan yang diakibatkan tertabrak truck tadi. Pengendara motor itu terpental sejauh lima meter. Terguling-guling seperti boneka yang tak mempunyai nyawa. Kepalanya pecah. Dari hidung dan mulutnya keluar darah. Entah masih hidupkah pemuda tersebut. Tangannya patah, kulitnya penuh luka dan goresan yang di akibatkan berbenturan dengan kerasnya jalan aspal. Segera orang-orang yang melihatnya berlarian menghampirinya. Berkerumun seperti melihat suatu pertunjukkan yang menarik.

Masih hidupkah anak itu?
Tanya salah seorang yang sangsi akan kehidupan anak tersebut. Dilihat dari kondisi yang dialami oleh anak tersebut, kecil kemungkinan ia selamat dari kecelakaan yang menimpa dirinya. Mukanya yang tampan tertutup oleh merahnya darah yang mengalir akibat kepala bocah itu terbentur keras ke jalan. Hidungnya yang mancung bak air terjun yang airnya berwarna merah. Sangat tidak sedap di pandang mata. Membuat miris setiap hati yang melihatnya.

Segera salah seorang meletakkan tangan di lehernya untuk mengetahui apakah anak tersebut sudah mati atau masih hidup. Dirasakannya nafas bocah tersebut.
Anak ini masih hidup. Cepat!!! Telpon rumah sakit” teriaknya pada semua orang.

Tit..tit..tit..
Bunyi tombol handphone yang sedang terpencet oleh jari-jari mungil seorang perempuan.

Halo, halo..
Rumah sakit?? Terjadi kecelakaan di jalan Kunci nomor 21
Korban segera membutuhkan pertolongan, cepat kirim ambulance ke sini.

Beberapa saat kemudian datanglah mobil ambulance. Keluar perawat yang dengan segera mengangkat bocah itu masuk ke dalam mobil ambulance untuk segera dibawa ke rumah sakit guna menjalani pengobatan.
Beberapa hari setelahnya, sang anak mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa ia telah siuman dari koma yang di alaminya selama tiga hari. Matanya terbuka setelah tiga hari terpejam rapat seakan ia seperti seonggok daging yang telah tak bernyawa. Pandangannya kosong. Sesaat kemudian, matanya tertuju pada seorang wanita yang tengah duduk di sampingnya.

Fender... fenderico...
Sambil berteriak diiringi dengan keluarnya air mata dari kedua matanya yang di tutupi oleh dua buah kaca. Seorang perempuan yang agak tua segera menghampiri Fender. Bocah yang mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu.

Dimana aku sekarang?
Kata-kata itulah yang terucap pertama kali dari mulut Fender. Rasa kebingungan menyelimuti benak pikiran Fender. Batinnya, “ sedang dimana aku sekarang?”.

Engkau sedang di rumah sakit anakku
ucapnya sambil mengusap air mata yang sedari tadi mengucur deras dengan sapu tangan berwarna kuning bermotifkan bunga. Wanita itu tak kuasa menahan tangis karena melihat anaknya tergolek tak berdaya di atas kasur empuk tertutup sprei putih.

Melihat kedua tangannya yang terlepas dari badannya.
Di mana tanganku, di mana kedua tanganku?”. Teriaknya.

***


Malam yang dingin. Tampak bulan masih malu menampakkan dirinya. Ia bersembunyi di balik awan hitam yang menutupi wajah cantiknya. Di sebuah gubug terlihat seorang pemuda desa tak kerja tengah asyik bermain gitar di teras sebuah rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Suara yang keluar dari mulutnya di ikuti suara gitar yang ia mainkan membuat malam yang dingin tak di rasakannya. Di desanya ia terkenal hebat dalam urusan bermain gitar. Beberapa kejuaraan bermain gitar ia menangkan. Setelah hamper dua jam berlalu, sang pemuda merasa kelelahan dan menyudahi untuk bermain gitar. Diletakkan gitarnya di ruang tamu yang tidak cukup besar beralaskan tanah. Ia rebahkan badannya ke dipan yang terbuat dari kayu.

tok…tok…tok…
Terdengar bunyi pintu rumahnya di ketuk oleh seseorang. Batinnya “Siapa malam-malam begini mencari aku?”. Segera ia bangkit dari tidurnya dan membuka pintu guna mengetahui siapa yang mengetuk pintu rumahnya. Dilihatnya lelaki tua berjenggot dan membawa sebuah tas yang entah apa itu isinya, sedang berdiri dihadapannya.

Bapak cari siapa?
Rasa penasaran menyelimuti hati sang pemuda.

Anu nak…bapak ada urusan dengan sampeyan
Jawab sang bapak dengan menyunggingkan senyum di mulutnya.

Dipersilahkan bapak itu masuk kerumahnya.

Apa betul sampeyan yang namanya Gibson?
Tanya bapak berjenggot itu pada sang pemuda

Betul pak, nama saya Gibson. Tapi ada urusan apa bapak dengan saya?
Rasa penasaran yang belum terjawab menambah bingung si pemuda.

Anu nak, saya dengar dari orang-orang nak Gibson ini pandai bermain gitar.”
Pak tua bertanya lagi

Sambil tersenyum si pemuda berucap
Aaaaaahhh, itu Cuma kata orang-orang saja pak.
Memang saya bisa main gitar tapi gak sehebat yang dikatakan orang-orang.
Si pemuda menunjukkan sifat rendah hatinya.

Eeemm, anu Nak, kalau boleh bapak bertanya? Berapakah nak Gibson menjual tangannya?berapapun saya akan membayarnya, asalkan nak Gibson menjual tangannya untuk saya.
Pertanyaan bapak tua itu membuat kaget pemuda tersebut.

Waaah… maaf pak, saya tidak menjual tangan saya. Sebab ini peniggalan dari almarhum ayah saya."
Jawab sang pemuda dengan berat.

Bagaimana kalau tangan nak Gibson saya hargai lima ratus juta? Kan lumayan bisa untuk beli tangan lagi.
Ucap bapak tua dengan santainya. Sembari menunjukkan uang seratus juta yang ada di dalam tas yang dibawanya.

Apa pak?!!! Lima ratus juta?
Kaget sang pemuda mendengar penawaran dari bapak tua tersebut. Sejenak ia membayangkan mempunyai uang seratus juta. “bagaimana ya? Aku dengan uang lima ratus juta yang ada di genggamanku? Bias beli gitar yang lebih bagus lagi, betulin rumah, tapi, bagaimana aku bisa menggengam? Sementara tanganku di bawa pergi oleh bapak ini.
rasa bingung menghinggapi pikiran sang pemuda.

Anu pak, bagaimana kalau bapak kembali kesini tiga hari lagi. Saya akan memikirkan tawaran bapak dulu.
Sang pemuda memberi tawaran kepada bapak tua tersebut.

Dengan senyum lebar sang bapak berkata
Baik nak Gibson, saya akan kembali kesini tiga hari lagi

Lalu sang bapak berpamitan pada pemuda itu dan segera pergi meninggalkan rumah kecil yang sudah agak reyot itu.

Gibson kembali lagi tidur di dipan kayu yang ia miliki. Mencoba untuk tidur kembali. Ia pejamkan matanya. Tapi ada sesuatu yang sangat menjanggal di benaknya. Ia masih memikirkan tawaran pak tua tersebut. “mungkin enak juga ya? punya uang lima ratus juta bisa beli apa-apa, dan hidupku juga tidak susah seperti ini.” Batin Gibson.
***


Setelah tiga hari berlalu, kembalilah pak tua berjenggot itu ke rumah Gibson. Dengan membawa tas berisi lima ratus juta di tangan kirinya, tangan kanan pak tua mengetuk pintu rumah Gibson.
Tok…tok…tok… nak Gibson. Nak Gibson.” Terdengar suara ketukan pintu di ikuti panggilan dari bapak tua itu.

Setelah agak lama menunggu, di bukakan pintu itu oleh Gibson.
Maaf pak, agak lama. Soalnya saya baru dari belakang. Jadi tidak mendengar panggilan bapak. Maaf lho pak."

Aaaaah, tidak apa-apa kok.
Sambil tersenyum sang bapak menjawabnya

Mari pak, silahkan masuk
Gibson mempersilahkan sang bapak untuk masuk kerumahnya.

Bagaimana nak Gibson atas tawaran saya pada nak Gibson?
Tanya sang bapak untuk memastikan keputusan Gibson.

anu pak, setelah saya piker-pikir dan memikir lagi pak, saya bersedia menerima tawaran dari bapak.
Jawab Gibson dengan tersipu malu.

Itulah jawaban yang saya tunggu-tunggu dari nak Gibson
Seraya menyerahkan tas berisi uang lima ratus juta
Ini uangnya nak Gibson. Bisa nak Gibson hitung sendiri

Setelah Gibson menerima dan menghitung uang tersebut, segera ia melepas kedua tangannya dan menyerahkan pada pak tua berjenggot itu.

Ini tangan saya pak. Bapak bisa membawa pulang tangan saya.
Sesudah transaksi jual beli tangan tersebut selesai, pulanglah bapak berjenggot itu dengan perasaan senang kembali ke kota tempat asalnya.

***


Dari dalam gedung kesenian yang terletak tak jauh dari balai kota Nada, terdengar suara-suara gitar dimainkan oleh beberapa anak muda yang sengaja datang untuk unjuk kebolehan dalam bermain gitar. Memamerkan skill yang mereka miliki. Atau hanya sekedar melihat perhaelatan akbar yang diadakan secara rutin dari tahun ke tahun yang nantinya akan melahirkan musisi-musisi handal. Mereka semua, para calon-calon musisi datang dari berbagai penjuru negri untuk membuktikan siapa yang terbaik dalam memainkan gitar. Festival Gitar tersebut di ikuti oleh beratus-ratus anak muda yang memang sudah mumpuni untuk urusan bermain gitar. Mereka-mereka, para anak muda berlomba-lomba untuk memamerkan kehandalan bermain gitar. Berbagai genre dan aliran musik di mainkan dalam ajang festival tersebut. Rock, Jazz, Blues, dan Metal, musik semacam inilah yang sering kali di usung oleh para peserta. Mereka semua memang ahlinya dalam bermain gitar. Bermacam-macam pertunjukan atraktif ditampilkan para jagoan-jagoan gitar.

MC segera naik ke atas panggung untuk mengumumkan siapakah selanjutnya yang akan naik ke atas panggung. Di peganglah mic, dan mulailah ia berbicara.

Untuk selanjutnya, peserta dengan nomor undian seratus tujuh puluh dua, di harap segera naik keatas panggung”.

terdengar MC acara menyebut-nyebut nomor undian yang aku dapat. Dalam batin ia berkata “ Tiba juga waktuku”. Segera ia naik ke atas panggung untuk mempertunjukkan keahliannya dalam bermain gitar. Di tancapkannya kabel ke sound. Mulailah bocah tersebut memamerkan skill-skill yang ia kuasai. Permainan gitar yang sangat enak didengar oleh telinga siapa saja yang mendengarnya. Entah, tangan siapakah yang lihai memainkan jari-jemarinya memetik senar-senar yang membuat semua orang terdiam dan ingin mendengarkan, siapa gerangan yang sedang bermain gitar tersebut. Setelah membuat penonton dan juri terkesima akan permainan gitarnya, bocah itu memainkan sebuah instrumental karyanya sendiri. Jari-jemarinya seakan-akan sudah tahu mau kemana ia akan melangkah mengitari fret-fret pada gitarnya. Dengan lenturnya tangan sang bocah memetik senar gitar sehingga menghasilkan suatu alunan nada yang membuat semua orang terpesona akan penampilannya. Tepuk tangan penonton membuat suara di dalam gedung kesenian itu semakin ramai.
Dibarisan bangku penonton terlihat seorang lelaki paruh baya memakai topi yang sudah usang dengan jenggot tebal membuat janggutnya lebih besar, kaca mata hitam tak ketinggalan menutupi matanya. Muncul wajah yang menunjukan rasa bangga ketika ia melihat bocah yang sedang bermain gitar di atas panggung itu. Dilepasnya kaca mata hitam miliknya oleh wanita yang sedari tadi duduk di sampingnya. Di usapnya air mata yang membasahi pipi lelaki tersebut. Tak tahan ia menahan rasa bangga melihat anaknya bermain gitar.

Siapa pemuda yang sedang di atas panggung itu ?”
Pertanyaan itu sering kali keluar dari mulut seseorang yang menyaksikan penampilan bocah bernomor seratus tujuh puluh dua. Semua orang yang hadir terkagum-kagum pada keahliannya dalam memainkan gitarnya.
***

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Menandakan kontes gitar tersebut telah usai. MC acara segera memanggil para juri untuk membacakan siapa-siapa yang akan menjadi jawara gitar tahun ini. Para juri sudah membawa secarik kertas yang didalamnya bertuliskan nama-nama pemenang festival gitar tersebut. Juri memegang microphone untuk memperkeras suaranya dalam menyebutkan siapa pemenang kontes tersebut. Perasaan penasaran menghinggapi seluruh peserta dan penonton yang juga ikut menyaksikan pertunjukan akbar itu.
Juri mulai membacakan nama-nama para pemenang. Penonton untuk sementara terdiam dan mendengarkan baik-baik siapakah yang bakal jadi pemenangnya.juara ketiga diraih oleh bocah tuna netra berumur lima belas tahun. Segera sang bocah buta itu naik keatas panggung untuk menerima trophy yang telah disiapkan untuk para jagoan-jagoan gitar. Berikutnya juri mengungumkan juara kedua.
Juara kedua dalam festival gitar tahun ini adalah Ibanez Prasetyo
Rasa senang berkecamuk di hati Ibanez. Segera ia ikuti jejak si buta naik ke atas panggung untuk menerima trophy bergengsi itu. Tetapi perasaan lain ditunjukkan seorang pemuda yang dari tadi menunggu namanya di panggil oleh juri. Perasaan kecewa ditunjukkan pemuda itu. Selang beberapa menit sang juri kembali mengungumkan siapa yang bakal menjadi jawara dari jawara gitar. Di pegangnya mic,
Untuk juara pertama kita, kita sambut....
Di iringi suara drum yang membuat hati siapa menjadi deg-degan, sang juri berteriak menyebut namaku.
Sang jawara kita... Fendericooooooo!!!
Perasan tak karuan menghinggapi diriku. Segera aku berlari menuju ke atas panggung. Ku terima trophy tersebut. Seperti mimpi saja yang kurasakan. Tak kusangka aku memenangkan kejuaraan gitar tahun ini. Dari kejauhan seorang pemuda yang kedua tanganya hilang hanya menyunggingkan senyum kecil melihat Fenderico menerima trophy itu, lalu ia segera meninggalkan gedung kesenian tersebut dengan langkah santai. Dalam batinnya ia berkata penuh penyesalan “Mengapa dulu aku menjual tanganku?”.