Cerpen Oleh : Tengky Widjanarkoe


Berapa?”, sambil merogoh sebuah dompet yang tebal dari celana panjangnya. Itulah pertanyaan yang keluar dari mulut seorang laki-laki berkaca mata berumur sekitar setengah abad dengan kepala yang sedikit botak di bagian depan dan rambut hitam yang ditemani beberapa uban yang sudah mulai kelihatan memenuhi sebagian pinggir kepalanya dan dengan badan setengah telanjang yang hanya memakai celana pendek bermotif kotak-kotak dan keringat yang hampir atau bahkan telah mengering di tubuhnya berdiri persis berada di depanku.
Dua Ratus Lima Puluh Ribu”, jawabku singkat tanpa banyak kata yang terlontar dari mulutku. Dengan kondisi tubuhku yang hampir lemas, selepas melayani pelangganku yang katanya menjabat sebagai anggota DPR. Aku menerima tiga buah lembar uang seratus ribuan dari tanganya yang sedari tadi memilih beberapa uang ratusan dari dompetnya. Entah itu uang hasil korupsi atau dari manalah, persetan dengan semua itu. Yang penting aku dapat uang, uang, dan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan membetulkan tali BH ku sebelah kanan yang melorot, aku sedikit terkejut dengan uang yang kuterima.
Nggak salah, Om?”, tanyaku dengan sedikit rasa penasaran yang menggeliat dipikiranku. ”Aku nggak punya kembalian Om. Om adalah pelangganku yang pertama”, sambut pertanyaanku yang tadi. Sambil menarik resleting celananya keatas si Om mengeluarkan kata dengan nada santai sedikit tersenyum, ”Alaaaah...kayak gak tau Om aja, kembaliannya buat kamu aja. Buat beli bedak dan lipstik untuk bibirmu yang sexy itu”. Lalu dia pergi dari kamar nomor 202 salah satu hotel bintang lima di kawasan Ibu Kota Jakarta, meninggalkan aku dengan tiga lembar uang seratus ribuan yang masih berada di genggamanku. Lalu aku segera mengikuti jejak si Om tadi.
***

Terdengar suara teriakan ”Aaaauuuuuww”. Semua orang yang mendengarnya memandangnya dengan rasa penasaran. Itulah suara yang keluar dari mulut salah satu wanita cantik yang mangkal di warung remang-remang pinggiran jalan ibu kota. Ya, sebuah colekan melayang di pantat seorang wanita cantik yang berumur sekitar tiga puluh dua tahunan yang sedari tadi mencoba mencari pelanggan yang haus akan kebutuhan biologis. Tetapi jangan salah, meskipun wanita tersebut berumur tiga puluhan keatas, wajah dan bentuk lekuk tubuhnya masih menunjukkan sesosok tubuh yang baru berumur belasan tahun. ”Iiiiih...masih kecil sudah mulai kurang ajar ya?”, wanita itu berkata seperti menceramahi anak yang memang baru lulus beberapa tahun dari sekolah menengah keatas. Sang anak yang merasa dirinya dihina dan dianggap tidak tahu apa-apa soal dunia prostitusi merasa tersinggung dan memberanikan diri untuk menawar wanita tersebut. Dari colekan, kemudian menjadi obrolan yang lebih serius. Tawar menawarpun terjadi antara kedua makhluk yang konon katanya memiliki nilai moralitas yang tinggi. Tetapi adakah nilai moral kemanusiaan yang sudah terjerembab dalam dunia hitam seperti ini?.
Emang berapa sih tarifnya?”, sambil menelan ludahnya dan agak sedikit canggung untuk mengatakannya anak itu menawar gadis tersebut. ”Emang kamu berani berapa?” wanita tersebut berucap seolah meremehkan anak yang dianggapnya baru bau kencur. ”Wah kalo masalah tarif sih aku gak tau neng”, dengan menunjukkan wajah yang polos anak itu berujar. ”Emmmmm...kayaknya gak usah aja deh, tar baru beberapa jam sudah klepek-klepek”. Wanita itu lalu pergi begitu saja dengan senyum yang menyakitkan bagi si pemuda yang hanya menahan amarah sambil mengumpat dalam batinnya ”Uuuh, liat aja besok. Bakal tak samperin lagi kau”. Seiring jarum panjang jam yang berputar di arloji yang melingkar di tangan kirinya, waktu menginjak pukul dua belas malam maka pulanglah anak itu dengan hati yang agak kesal karena dirinya merasa diremehkan oleh seorang PSK.
***

Keesokan malamnya sang anak kembali lagi ke tempat yang mempertemukan dia dengan seorang wanita yang membuat dirinya penasaran dan sedikit tertarik juga. dengan PeDe-nya dia menunggu wanita tersebut karena sedari rumah dia sudah menonton film porno untuk panduan agar nanti saat bersenggama dia tidak kebingungan apa yang harus dilakukan. Detik berganti detik, menit berganti menit, dua jam berlalu, tapi yang dinanti tak kunjung muncul menampakkan batang hidungnya. Sang anak merasa kesal karena yang dinanti tak kunjung datang. Dengan hati yang kesal akhirnya dia pulang dan memutuskan untuk kembali lagi esok harinya.
***

Suara bising kendaraan yang lalu lalang di jalan sekitar komplek warung remang-remang dan kupu-kupu malam yang siap menyedot bunganya sudah menjadi pemandangan yang tidak tabu lagi. Gadis-gadis dengan pakaian ketat yang menunjukkan lekuk tubuhnya sudah menjadi incaran para serigala-serigala yang liar dan haus akan kebutuhan biologis yang tak terpenuhi dan siap menerkam mangsanya. Ditambah dengan rok minim yang melekat di paha yang putih dan mulus dibalut stocking, membuat para hidung belang semakin beringas untuk menentukan buruannya. Ditengah-tengah hidung belang yang berkeliaran terlihat seorang anak yang dari tadi menanti yang dinantinya.
Anjink!!! Kemana sih wanita itu? Kok susah amat dicari” pikirnya dengan perasaan kesal. Meskipun banyak gadis-gadis yang cantik dan bahkan lebih muda dari yang dinanti, sang anak tetap bersikukuh untuk tetap menunngu yang dinantinya. Beberapa jam dilaluinya dengan perasaan yang tak menentu di otaknya. Setelah sabar menunggu beberapa jam akhirnya dari kejauhan terlihat sesosok wanita berjalan dengan pantat naik turun yang sudah tak asing dimatanya. Memang benar, yang dinanti akhirnya muncul juga. Sang anak langsung nyamperin wanita itu. Dari belakang ia menguntitnya, dan tiba-tiba dia berkata yang membuat sang wanita agak sedikit kaget. ”Hai cantik.. gimana nih kabarnya? Ingat gak ama aku?” tanya sang anak pada wanita yang menghentikan langkahnya dan segera membalikkan badannya untuk mengetahui siapa gerangan yang memanggil dirinya.
Seperti melihat setan wanita itu terkejut tatkala dia tahu siapa yang memanggilnya. Dengan sedikit perasaan kaget sang wanita berucap ”Ooooo, kamu lagi to?”, tanya sang gadis dengan sedikit tersenyum. Giginya yang putih dan pipinya yang menimbulkan lesung di pipinya membuat wanita itu semakin cantik bukan mainnya. Lelaki itu terpesona melihat kecantikan yang terpancar dari wajah wanita itu. ”Ada apa lagi, deeeeek?”, seiring menyambung pertanyaannya yang keluar dari mulutnya tadi.
Jangan panggil dek dong neng. Panggil Diaz aja”, sembari mengulurkan tangan kanannya sambil menyebutkan namanya ”Diaz”. Diaz bermaksud ingin mengajak berkenalan wanita tersebut. Sang wanita pun merespon ajakan tersebut. Tangan kanannya segera menjabat tangan kanan Diaz seraya berucap ”Retno”. Merekapun akhirnya mulai mengobrol dan mengobrol. Mereka berdua ngobrol begitu akrabnya tak menyadari bahwa mereka baru bertemu dan baru saling kenal. Seiring waktu yang mulai beranjak malam. Keduanya terhanyut dalam obrolan-obrolan yang menjurus kearah berbau intim.
***

Obrolan mereka berdua kemudian berlanjut ke kamar sebuah Losmen. Dia mulai mengeluarkan jurus-jurus jitu merayu wanita. Kata-kata Diaz membuat Retno terbuai dalam untaian-untaian kata yang membuat luluh hati Retno. Bibir Diaz secara refleks mulai mengulum bibir Retno. Dengan lihainya lidahnya menari-nari di dalam mulut Retno. Retno pun tak mau kalah, seakan ingin menunjukkan keahliannya menghadapi laki-laki seperti Diaz. Perlahan tapi pasti, remasan pun mulai diluncurkan tangan nakal Diaz. Retno pun menggeliat, hatinya merasa tergetar oleh sentuhan lembut tangan Diaz. Tak pernahnya Retno merasakan sentuhan tangan seorang laki-laki seutuhnya seperti Diaz. Kendati Retno sudah sering menghadapi sentuhan-sentuhan tangan jahil si hidung belang. Tapi ini lain dari pada yang lain. Dia seperti merasakan hubungan batin dengan seseorang yang telah lama tak pernah ia temui. Baju pun mulai lepas dari kedua badan masing-masing.
Seketika keduanya telanjang bulat tanpa sehelai benang pun di tubuhnya, tak lebih menggunakan pakaian lahir mereka. Sekali lagi, lidah Diaz bermain dengan lincahnya di puncak dua buah daging yang menonojol empuk di dadanya. Retno mulai merintih, merasakan kenikmatan tersendiri saat melakukannya bersama Diaz. ”Hebat juga kau dalam urusan ranjang”, Retno terkagum,”Makanya, jangan remehin anak kecil”, Diaz menyombongkan diri.
Meskipun usia keduanya terpaut jauh, keduanya tak saling menghiraukan, mereka terhanyut dalam senggama yang tak pernah sekalipun Diaz dan Retno dapatkan. Dengan berbagai gaya ia tirukan, persis dengan apa yang ia tonton dan pelajari dari film porno yang Diaz pelajari kemarin. Layaknya seekor kuda yang binal, Diaz melakukan hubungan itu dengan semangat menggebu-gebu – maklum Diaz belum pernah melakoni hal tersebut sebelumnya. Mereka berdua saling adu lomba menunjukkan keahliannya dalam urusan ranjang. Tanpa sadar jarum jam yang menempel di dinding Losmen tersebut sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Akhirnya, keduaanya pun merasa untuk menyudahi permainan dan dalam keadaan capek Diaz dan Retno tertidur lelap berbalut keringat yang masih membasahi tubuh mereka berdua.
***

Ayam jantan pun berkokok. Menandakan pagi telah datang. Keduanya terbangun dan saling pandang. Mereka berdua saling bertatapan mata, hati Retno seakan pernah merasakan pandangan mata dari seorang yang pernah ia kenali. ”Berapa?”, ucap Diaz. Retno pun menjawab, ”Baru kali ini aku merasakan menjadi wanita seutuhnya, karena denganmulah aku merasakan kenikmatan sex yang benar-benar menikmati. Bukan sekedar melayani tamu-tamuku seperti biasanya. Walaupun sudah sering aku melakoninya dengan banyak pria, tapi denganmulah aku merasakan kenikmatan tersendiri. Jadi khusus untuk dirimu, tak perlu kau membayarku, sebagaimana pria hidung belang yang mengencaniku”.
Tapi kau tak akan bertemu aku lagi, Retno”, Diaz meyakinkan. Rasa penasaran berkecamuk dipikirannya. Pikirnya, padahal aku baru pertama ini menemui laki-laki seperti Diaz. Dengan rasa penasaran itu aku bertanya pada Diaz, ”Kamu mau pergi kemana?”, tanyaku penuh sesal. ”Besok aku mau pulang kampung”, singkat Diaz menjawab.
***

Tok, tok, tok. Suara ketokan pintu membuat seorang nenek tua yang ubannya sudah hampir merata ke seluruh bagian rambutnya membuka pintu untuk mengetahui siapa orang yang mengetuk pintunya. Dibukanya pintu tersebut, seorang wanita dengan tas kecil di pundaknya berdiri di hadapannya. Sang nenek menatap mata wanita tersebut dengan sorot mata yang tajam. Keduanya saling berhadapan satu sama lain. Sembari mengingat siapa wanita yang berdiri di depannya, tetesan air mulai mengalir dari kedua mata nenek tersebut. Wanita yang sedari tadi berdiri di depan pintu langsung menciumi kaki nenek tersebut. Sambil menangis dengan perasaan penuh dosa kepada nenek tersebut, wanita itu tak henti-hentinya berucap ”Maafkan Retno Bu, maafkan Retno”.
Dengan peluh yang masih membasahi pipi nenek tersebut, sang nenek berucap ”Berdirilah anakku, kau tak perlu minta maaf kepadaku. Ibu sudah memaafkan kesalahanmu. Berdiri, peluk ibumu ini”. Lalu sang wanita segera berdiri dan memeluk tubuh wanita tua itu dengan eratnya. Keduanya saling melepas rindu. Sambil tersedu-sedu wanita itu bertanya kepada ibunya ”Dimana anakku?”, lalu dari balik selambu muncul seorang anak laki-laki. Dan alangkah terkejutnya sang wanita ketika melihat anak laki-laki yang muncul dari balik selambu. Dengan rasa berdosa dan mengeluarkan air mata yang tak henti-hentinya mengucur deras dari kedua matanya tanda penyesalannya yang betul-betul menyesal wanita tersebut berkata, ”Kaukah anakku?”, wanita tersebut tak menyangka bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Diaz. Laki-laki yang pernah menidurinya.