Cerpen Oleh : Tengky Widjanarkoe


Suara kereta yang terdengar dari kejauhan yang sedari tadi di nanti-nanti oleh beberapa kerumunan manusia memakai baju rapi lengkap dengan dasi melingkar di kerah bajunya, ada juga yang menenteng tas entah apa itu isinya yang bolak-balik, setiap saat entah berapa kali mereka lakukan, memandangi arloji di sebelah kiri ataupun sebelah kanan pergelangan tangannya.
Terlihat wajah gusar sesekali menggerutu mengucap kata-kata yang tak bisa kupahami karena aku hanya melihat mulutnya yang bergerak-gerak di sertai rasa emosi, benci, marah dan perasaan jengkel membuat wajah mereka semakin tidak enak dipandang mata. Belum lagi kulihat anak-anak kecil mengulurkan tangan-tangan kecilnya ke orang-orang berdasi memakai jas hitam licin dengan harapan mendapat uang dari manusia-manusia berpakaian rapi itu.
Kakek-kakek, nenek-nenek, dengan pakaian kumel berbau apek, dekil, kotor bahkan sobek-sobek tetap mereka pakai untuk menutupi aurat tubuh mereka agar terjaga dari pandangan-pandangan mata manusia-manusia. Tubuhnya kurus kehitam-hitaman sehingga membuat tulang-tulang mereka menonjol keluar seakan ingin keluar dari dalam tubuhnya. Terlihat seorang ibu dengan payudaranya keluar separo – separo tertutup oleh selendang – tidak malu ataupun merasa risih ketika anak-anak kecil, penjual rokok keliling, penjual es teh keliling, calo-calo karcis ataupun orang-orang yang kebetulan lalu lalang berjalan melihatnya dengan tatapan penuh nafsu, itupun gratis. Tidak perlu membayar.
Jhem!!!, Ijhem!!!” teriak sang ibu pada anaknya yang sedari tadi bermain golekan yang salah satu tangannya hilang karena terputus dengan sendirinya. Mungkin sudah terlalu lama. Memang, hanya boneka itu teman mainnya sejak kecil. Ia sangat menyukai boneka pemberian almarhum bapaknya.
Ijhem. Begitulah ibunya memanggil gadis kecil berumur sekitar enam tahunan itu. Ijhem menjadi yatim setelah bapaknya mati dua tahun lalu. Bapaknya mati dengan misterius. Mayatnya ditemukan di dalam karung goni dan diletakkan begitu saja di sebelah stasiun, tepatnya di bawah pohon asem yang begitu besar. Ditubuhnya terdapat dua lubang yang di akibatkan timah panas yang keluar dari moncong senapan yang entah siapa yang berani melakukannya pada ayah Ijhem.
Bapak Ijhem adalah seorang preman bertubuh kekar dengan otot lengannya yang terlihat begitu kuat, berambut cepak, berkulit hitam legam dengan tato tengkorak di sebelah kanan lengan tangannya ditambah dua gambar harimau yang melekat di dadanya, membuat siapa saja yang mellihatnya akan ketakutan. Tidak diketahui pasti kenapa ayah Ijhem dibunuh.
Ono opo to Mak?” tanya Ijhem pada ibunya yang sedang menyusui adiknya. “Saiki wes waktunya Kowe ngemis, cari duit. Matamu opo ora nyawang? Dari tadi ora ono seng nyemplungi duit. Nek kowe gak nyariduit, arep nguntal opo kowe ngko?” bentak Emak pada si Ijhem dengan mata melotot. “ emoh. Ra gelem aku” jawab Ijhem sambil lari cepat menjauhi Emaknya. “lhoh, lhoh, lhoh arep nyang ndi kowe? Di suruh ngemis kok malah minggat. Dasar bocah gemblung, bocah edan. Awas kowe kalau muleh!!!” teriak Emaknya dengan dada naik turun. Sesaat kemudian, matanya nanar, menerawang jauh setelah beberapa detik si Ijhem hilang dari pandangannya.

***


Setiap hari Emaknya hanya diam, duduk bersandar pada tiang besar di stasiun dan berharap penuh mangkok plastiknya dapat terisi penuh oleh uang. Dulu sebelum lahir adik Ijhem, emaknya juga ikut ngemis. Sekarang, semenjak ada adik Ijhem, Emaknya tidak pernah ngemis lagi karena kasihan pada adik Ijhem yang masih kecil sudah harus di ajak ngemis.
Dulu Ijhem dan Emaknya tinggal di daerah sekitar stasiun, di daerah perkampungan orang kumuh. Ia, Emak dan adiknya tinggal di gubug tiga kali tiga meter berdinding kardus bekas air mineral, beratap terpal yang sebagian sudah jebol-jebol sehingga nampak tambalan di sana-sini. Jika hujan tiba mereka ngungsi ke stasiun karena tempat tinggalnya akan terendam air dan tidak bisa buat tidur.
Suatu malam ketika Ijhem dan Emaknya –ikut pula adiknya- sedang tertidur lelap. Mereka di kejutkan oleh teriakan orang-orang yang histeris.” Kebakaran… kebakaran… kebakaran…” emaknya yang mendengar, langsung kaget dan keluar untuk melihat apa yang sedang terjadi. Orang-orang berlari ketakutan dengan ember air di tangannya, sebagian menyelamatkan harta benda mereka- yang mungkin tidak berarti. Mungkin juga sangat penting bagi mereka.
Alangkah terkejutnya si Emak ketika dimatanya terlihat kobaran api sedang melahap gubug-gubug yang berderetan dari timur ke barat. Api itu melahap semua apa yang bisa dilahapnya. Begitu cepatnya api berjalanTinggal satu gubug lagi, dan si jago merah akan sampai ke gubug yang didalamnya didapati Ijhem dan adiknya sedang tidur pulas. Tanpa banyak tingkah, Emaknya segera berlari masuk menyelamatkan kedua buah hatinya.
Pagipun tiba. Terlihat orang-orang dengan wajah sedih memelas memandangi sisa puing-puing rumah mereka yang hangus terbakar tadi malam.
Tanah rata. Sebagian orang berjalan diatas sisa puing-puing tersebut dan berharap ada barang yang masih bisa digunakan. Entah, rumah mereka terbakar atau memang sengaja di bakar.

***


Mangkok-mangkok kecil plastik, piring seng yang sudah berkarat, tempat minum air mineral bekas, topi-topi jerami yang berada tepat di depan orang-orang, anak-anak kecil yang tidak bisa berjalan karena kaki yang lumpuh duduk sepanjang hari berharap dapat terisi penuh dengan lembaran-lembaran kertas dan berkeping-keping koin.
Sampah-sampah berserakan, bau-bau pesing di setiap sudut tempat, kecoa, lalat yang terbang dari satu sampah ke sampah yang lainnya untuk mencari makan, kucing-kucing dengan tubuh kurus berusaha mengais tong sampah berharap dapat menemukan sesuatu untuk bisa mengisi perutnya, menambah lengkap pemandangan yang membuat setiap mata yang melihatnya enggan untuk melihatnya. Sungguh suatu pemandangan yang sangat tidak sedap untuk di pandang mata. Tapi bagi orang-orang komunitas kampung kumuh, orang-orang jalanan, gembel-gembel, hal tersebut sudah menjadi suatu pemandangan yang amat, sangat dan teramat biasa di nikmati setiap hari.
Suara speaker yang dipasang pada setiap sudut stasiun membut aku terbangun dari mimpi-mimpi indahku. Suara kereta semakin terdengar di telingaku. Semakin lambat, lambat dan melambat.
Kereta berhenti. Di ikuti pula suara roda kereta yang saling bergesek dengan rel, membuat hati siapa saja yang mendengarnya merasa tidak nyaman. Pintu-pintu gerbong mulai terbuka. Orang-orang saling berebut, berjubal, dorong mendorong, berdesakkan untuk bisa masuk ke kereta dan mendapat tempat duduk. Jika tempat duduk sudah terisi penuh, dengan terpaksa mereka berdiri berdesak-desakkan.
Tangan-tangan saling bergantungan memegang pegangan untuk menjaga keseimbangan waktu mereka berdiri. Dalam keadaan seperti ini sering tangan-tangan jahil meremas-remas atau hanya kebetulan dengan tidak sengaja merasakan empuknya pantat-pantat wanita. Wanita-wanita tersebut hanya bisa pasrah ketika tangan-tangan jahil tersebut menggerayangi tubuh, meremas, bahkan ada yang nekat melekatkan kemaluannya ke pantat empuk karena sudah tak tahan lagi dengan kondisi dan situasi seperti ini.
Kereta berhenti. Sampailah aku di stasiun Lempuyangan.