Soviet Rusia 1921. Di masa itu, Soviet Rusia bergejolak. Di lapisan sosial masyarakat yang paling rendah, golongan buruh, khususnya golongan buruh industri yang tidak mempunyai alat produksi dan hidup dari menjual tenaga, yakni kaum proletariat; juga ada dinamikanya. Ada intrik, benci, dan gemeretak kegeraman terdengar di mana-mana di sudut kota tua, Moskow.

Konflik kelas di perkotaan terjadi antara para pemilik modal dan kaum buruh yang tidak punya harapan untuk memperoleh harta pribadi. Proses (konflik) yang lain berlangsung di pedesaan, antara dua kelas pemilik: di satu pihak para tuan tanah dan di pihak lain para petani. Kaum tani ini tidak memiliki kesadaran atau aspirasi sosialis, sebaliknya mereka ingin pembagian tanah yang merata dan adil. Dalam upaya itu, kaum petani kaya (para tengkulak) bisa saja ikut berpartisipasi.

Revolusi Oktober di Soviet Rusia hanya dapat terjadi berdasarkan kedua proses tersebut. Namun demikian, kedua proses ini hanya dapat bergabung karena faktor khusus. Di Soviet Rusia, kelas borjuis tak mampu berpisah dengan para tuan tanah. Hal ini menyebabkan kaum tani terpaksa bersekutu dengan kelas buruh. Dan, Revolusi 1917 mengombinasikan “perang para petani” dengan insureksi kaum proletarian itu.





Kelas borjuis dan kaum tuan tanah ditumbangkan, namun kelas-kelas yang menumbangkan mereka tidak mempunyai tujuan bersama dalam jangka panjang. Kelas buruh hidup dari kegiatan kolektif di tempat kerja, sedangkan kaum tani hanya dapat bersatu secara sementara untuk merebut tanah, kemudian mereka akan menjalankan produksi individual kalau tidak didominasi oleh kekuatan luar.

Akibatnya, revolusi merupakan kekuasaan kaum buruh di atas kelas lain di perkotaan, sekaligus merupakan kekuasaan kota atas pedesaan. Pada tahap pertama, pemerintahan Bolsyevik dapat mengandalkan dukungan kaum tani dan memang dibela oleh bayonet para prajurit berlatar belakang rural . Namun apa jadinya kelak?

Pertanyaan klasik ini telah lama direnungkan oleh kaum Marxis di Rusia. Sebuah revolusi sosialis bisa saja tenggelam dalam lautan petani. Hal itu menjelaskan mengapa sebelum tahun 1917, kaum Marxis (kecuali Leon Trotsky) melihat revolusi di Rusia sebagai “revolusi demokratik”.

Tatkala Trotsky mengajukan skenario revolusi sosialis, Vladimir Ilich Lenin (1870-1924) menulis demikian: “Ini mungkin karena kekuasaan sosialis hanya dapat stabil berlandaskan dukungan mayoritas besar. Adapun proletariat Rusia merupakan minoritas rakyat Rusia saat ini”. (Julian, “ Russia: How the Revolution Was Lost ” karya Chris Harmann)

Lenin mempertahankan pendapat ini sampai awal 1917. Pada tahun itu dia berubah sikap, tetapi hanya karena dia melihat revolusi di Rusia sebagai tahap pertama revolusi global, di mana kelas pekerja di Barat dapat menolong kaum pekerja untuk mengambil hati para petani Rusia. Delapan bulan sebelum insureksi Oktober, Lenin pun menulis: “Proletariat Rusia tidak bisa menuntaskan revolusi sosialis dengan kekuatan sendiri”. Empat bulan setelah insureksi tersebut, dia menggarisbawahi: “kebenaran yang mutlak bahwa tanpa terjadinya sebuah revolusi di Jerman, kita akan dihabisi”.

Dinamika sosial-politik dan ekonomi ketika itu memang kompleks. Institusi yang bercokol di Rusia, 1921, telah jauh berbeda dari soviet-soviet dan Partai Bolsyevik, 1917. Para aktivis Bolsyevik yang ikut berpartisipasi dalam revolusi Februari itu adalah kaum revolusioner berkomitmen yang menanggung risiko berat selama berjuang bertahun-tahun melawan Tsar. Mereka tidak melepaskan prinsip sosialisme, bahkan ketika harus menghadapi empat tahun perang sipil dan ketersekatan dari rakyat pekerja.

Namun pada 1919 unsur ini hanya merupakan 10 persen dari anggota partai; pada 1922 hanya 2-3 persen, karena Partai Bolsyevik telah tumbuh secara dahsyat. Banyak orang yang masuk partai itu yang bukan revolusioner, melainkan para oportunis yang ingin tampil dan eksis dalam birokrasi negara.

Kaum proletariat—sebagian penduduk kecil yang mempunyai hubungan tertentu dengan “alat produksi”—terdesak. Kaum kapitalis memiliki pabrik, pertambangan, dan lain-lain bentuk “mesin pencetak uang”. Merekalah strata kapitalis itu. Kaum buruh bekerja di pertambangan dan pabrik, tetapi mereka tidak memiliki tambang dan pabrik. Mereka adalah kelas buruh.

Kelas utama dalam masyarakat modern ada dua: kaum kapitalis (borjuasi) dan kaum pekerja-upahan (proletariat). Pada zaman dulu, ada kelompok pemilik budak, ketika kaum pekerja menjadi budak sebagai barang dengan tidak mempunyai suatu hak hukum atau hak sosial apa pun. Lalu para “tuan feodal” dengan hambanya—kaum pekerja pertanian dan abdi kaum pemilik tanah—yang terikat pada tanah. Juga ada kelas kepala gilda dan pedagang.

Munculnya teori ekonomi sosialis pada era Bolsyevik bukan suatu eksperimen, namun manifestasi atau aplikasi ilmiah, dan telah mencapai hasil yang stabil. Bukan saja dicapai di Soviet Rusia, tetapi juga di kawasan lainnya; dari Berlin (Jerman Timur) hingga Hanoi (Vietnam), dari Tirana (Albania) sampai Pyongyang (Korea Utara).

Ketika memberi kuliah umum di hadapan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (Jakarta, 12 Desember 1954), salah seorang dedengkot Partai Komunis Indonesia (PKI), Njoto, menerangkan bahwa “ekonomi sosialis sekarang ini bukan hanya dapat dipikirkan dan dibayangkan, tetapi sudah diraba dan dirasakan”.

Karl Heinrich Marx (1818-1883) adalah orang pertama yang menerangkan sifat objektif dari sosialisme ini. Namun tesis Marx ini bukannya jatuh dari langit. Ajaran ini lahir sebagai kelanjutan dari wakil terbesar sosialisme klasik Perancis, filsafat klasik Jerman, dan ekonomi klasik Inggris. Tiga komponen inilah yang menjadi manifestasi mazhab ekonomi marxisme.

Mengenai mazhab ekonomi marxisme—inti dasarnya adalah pemahaman tentang teori “nilai lebih” dan teori “nilai kerja”—ini tidak sedikit ekonom yang salah persepsi, seolah-olah penemu pertamanya adalah Karl Marx. Padahal, pelepor ilmu ekonomi modern dan teori ekonomi “ laissez-faire ” berkebangsaan Skotlandia, Adam Smith (1723-1790), yang terkenal melalui karya klasiknya An Inquiry into the Nation and Causes of the Wealth of Nations (1776), serta peletak dasar teori ekonomi-politik berkebangsaan Inggris dan penulis On the Principles of Political Economy and Taxation (1817), David Ricardo (1772-1823), telah mengemukakan teori “nilai kerja” ini; bahkan juga teori “nilai lebih”. Dan, Marx hanya melanjutkan ajaran mereka secara dialektis dan konsekuen.

Di mana letak perbedaan antara ekonomi marxis dan kebanyakan aliran ekonomi lainnya? Hemat saya, perbedaan itu terutama terletak pada kenyataan bahwa kebanyakan ekonom lainnya melihat hubungan antara barang dan barang (kapitalisme), sedangkan Marx melihat hubungan antara manusia dan manusia (sosialisme).

Dan ajaran Marx tentang teori ekonomi-politik dijelaskannya secara panjang lebar dalam buku standarnya, Das Kapital (1867). Marx menjelaskan bahwa “tujuan akhir karangan ini ialah mengungkap hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern”. Tentu saja yang dimaksud Marx adalah masyarakat kapitalis (atau kapitalisme).

Sekarang, tinggallah kita merenungi kembali, apa sesungguhnya mazhab ekonomi yang dikembangkan di negeri tercinta yang berpaham “demokrasi ekonomi” ini?