Tanggal : 17 Dec 2008
Sumber : Koran Tempo

Prakarsa Rakyat,

Stefanus Surya Wirawan membalut protes sosial dengan medium komik dan kehalusan teknis.

Tubuhnya kecil. Tingginya sekitar 160 sentimeter, berat tubuhnya sekitar 42 kilogram. Tubuh itu dililit T-shirt biasa yang agak kedodoran. Di bahu kanannya tersandang tas kanvas. Kepalanya sering tertutup topi. Praktis tak ada sesuatu yang istimewa pada orang ini. Kalau berbicara pun ia tak mampu memaksa orang menoleh kepadanya. Dia tampak sebagaimana laki-laki biasa. Namanya Stefanus Surya Wirawan, 35 tahun.

Tapi lihatlah karyanya. Ukuran kecil justru memaksa orang menoleh. Di dinding ruang pamer Kedai Kebun Forum tergantung frame karya grafis, drawing, serta lukisan dalam bentuk komik dan poster. Pada satu karya komik bertajuk "Joyo" terdapat 40 kotak adegan yang masing-masing berukuran kecil (5 x 12 sentimeter). Pada kotak adegan itu ada figur yang digarap dengan detail yang kuat dengan teknik cat air di atas kertas. "Saya menggarap satu kotak satu hari," ujar Surya.

Komik "Joyo" adalah kisah yang sangat khas tentang nasib rakyat jelata yang terpuruk oleh tekanan sosial ataupun mentalitas diri sendiri. Komik ini bercerita tentang tukang becak, Joyo, yang kesulitan mencari penumpang, tapi masih harus menghadapi masalah dengan polisi lalu-lintas yang garang, dan godaan judi sesama penarik becak.

Surya adalah salah satu pendiri kelompok seniman Taring Padi. Pada pameran ini tampak corak protes sosial khas karya seniman Taring Padi dengan semangat ideologis mengobarkan "perang" terhadap kapitalisme yang mengisap darah rakyat kecil, pelanggaran hak asasi, serta ketidakadilan gender.

Misalnya pada karya bertajuk "Stop Diskriminasi" dengan teknik cukil kayu. Bidang kertas itu didominasi citraan perempuan bertubuh perkasa dengan wajah garang yang tangan kirinya memegang timbangan keadilan, sedangkan tangan kanannya memegang buku. Latar belakangnya adalah gunung dan alam pedesaan, serta bangunan pabrik dengan cerobong asapnya. Pakem visual Taring Padi ia tampilkan lewat kerumunan figur yang mencitrakan wong cilik. Semua elemen rupa karya ini tampil dalam wujud garis-garis kasar.

Secara visual, karakter khas Taring Padi tampak pada banyak figur kusam wong cilik (baik petani maupun buruh), tangan mengepal, sederet teks yang provokatif, serta teknik grafis cukil kayu dalam warna monokrom.

Salah satu kegiatan Taring Padi adalah membuat poster dengan teknik cukil kayu untuk mengampanyekan berbagai isu, mencetak kartu pos, emblem, atau membuat peralatan untuk kepentingan aksi bersama dengan buruh dan petani.

Tapi sebagian besar karyanya tampak mulai beringsut dari corak hard core ideologis ke arah yang lebih lunak. Ia tak lagi menggarap isu besar antikapitalisme, antimiliterisme, hak asasi, dan hak buruh, serta tak lagi memunculkan citra petani dengan wajah berang dan tangan yang mengepal. Ayah satu anak ini justru menukik ke hal yang subtil dari tema besar itu, misalnya nasib Joyo penarik becak tadi.

Surya mengangkat nasib kaum marhaen sehari-hari dengan memasukkan unsur humor untuk menggambarkan ironi lewat sosok Petruk dan Gareng. Mulai soal kegagalan menjadi pegawai karena harus membayar uang sogok yang ditampilkan lewat komik bertajuk "Sumur Butuh Banyu", hingga soal biaya sekolah yang mahal sehingga Petruk harus menggadaikan televisi dan jarik istrinya.

Pada cerita lain, Petruk dan Gareng membicarakan dua sosok polisi yang kebal sogokan, yakni Jenderal Hoegeng (almarhum) dan "polisi tidur", atau polisi yang rajin menggelar operasi di jalan raya untuk mencari uang dalam karya bertajuk "Kijang Mata Duitan". Komik pendek yang hanya terdiri atas tiga hingga lima adegan itu ia sebut sebagai rasan-rasan. "Saya sering dicurhati orang," katanya.

Figur Petruk dan Gareng pernah populer dalam cerita komik pada masa lalu. Dan Surya mulai menggunakan figur Petruk-Gareng sejak 2002.

Secara visual pun, karya Surya lebih halus, terlebih karena ia menggunakan teknik etsa. Garisnya tak lagi kasar seperti pada karya dengan teknik cukil kayu yang sebenarnya memiliki makna ideologis. Menurut Surya, karyanya yang sangat khas Taring Padi itu memang untuk memenuhi kebutuhan agitasi di jalanan.

Sebaliknya, karya Petruk-Gareng adalah karya pribadi. "Saya bungkus dengan humor," katanya. Surya sudah pamit pensiun dari Taring Padi pada 2007 lalu. RAIHUL FADJRI