Oleh: Kahar al bahri*

,- Siapapun sepakat bahwa tujuan pendidikan adalah mewujudkan manusia yang dapat berpikir secara rasional karena kita juga sepakat bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan olch pola pikirannya, oleh karena itu maka pendidikan adalah sebuahkeniscayaan, kita juga sepakat untuk memajukan bangsa ini dan mengangkat bangsakita dari keterpurukan maka hal mutlak yang harus didahulukan adalah sektor pendidikan.

Saya sungguh senang begitu walikota kita mengeluarkan kebijakan menghapus uang pendaftaran peneriman siswa baru tapi ternyata kesenangan saya tidak berlangsung lama kecurigaan dan kekecewaan saya selama ini tentang dunia pendidikan kita yang tak beres muncul kembali ketika membaca Kaltim Post senin 1Agustus 2004 tentang dana partisipasi yang dikeluarkan oleh Disdik yang menurut saya begitu tinggi, bukan saja bagi kalangan menengah dan pegawai negeri terlebih lebih buat kaum miskin kota (Buruh, Nelayan PKL, Pegawai rendahan, pemulung dll) biaya yang sedemikian besarnya mereka akan dapat dari mana jika pendapatan mereka masih berkisar pada upah minimum Provinsi yang Cuma Rp 640.000 perbulan sanggupkah mereka merealisasikan keinginan anak-anaknya untuk sekolah jika pembayaran yang dibebankan begitu mahal, lya kalau anak mereka yang mau sekolah cuma satu orang, belum lagi biaya seragam baru dan biaya beli buku pelajaran dan buku tulis baru serta uang jajan maka wajar jika muncul pertanyaan kemana para anak-anak orang miskin harus sekolah?

Menurut Darmaningtyas (Kompas 19 Juni 2004 ) ada empat golongan anak usia sekolah : pertama anak kaya dan pintar kedua anak pintar tapi miskin ketiga anak bodoh tapi kaya,dan keempat anak bodoh tapi juga dari keluarga miskin.

Nah, jika melihat sistem penerimaan siswa baru sekarang yang masih mengutamakan sistem tes dan nilai Ujian murni maka peluang untuk sekolah terutama disekolah negeri ada pada golongan yang pertama, dan jika peneriman masih memungkinkan untuk negosiasi dan tawar menawar maka peluang berikutnya ada pada golongan ketiga ,golongan kedua juga berpeluang tapi dalam prosesnya nanti maka besar kemungkinan mereka akan keteteran untuk berprestasi karena harus ikut berpikir bagaimana biaya sekolah tidak terganggu, dan golongan ini biasanya meluangkan waktunya untuk membantu orang tuanya mencari uang dan membiayai dirinya sendiri, tidak ada peluang sama sekali untuk ikut les tambahan apalagi private, dan golongan keempat kemana mereka ??. Peluang mereka yang sangat sempit bahkan dapat dikatakan tertutup terutama disekolah negeri peluang mereka yang paling memungkinkan adalah sekolah swasta yang bisa saja sangat rendah mutunya dan berada. dipinggiran karena mereka hampir tidak memiliki modal yang dibutuhkan untuk syarat masuk sekolah apalagi jika mengganakan penerimaan sistem tes dan nilai ujian murni, sistem tes Jelas mereka tidak bisa dan sistem nilai , nilai mereka sangat rendah, mau negoisasi, jelas kondisi ekonominya tidak memungkinkan, celakanya golongan ini menduduki tempat yang cukup tinggi dalam segi jumlah bahkan menurut data konfrensi Pendidikan dunia lebih 100 juta anak usia sekolah ada dalam kelompok ini, ini disebabkan karena sejak mereka kecil focus keluarga mereka bukan pada sektor pendidikan tapi pada sektor ekonomi (baca: perut)

Uraian diatas tentu menegaskan bahwa sistem penerimaan dalam dunia pendidikan kita menciptakan kesenjangan sosial dan kemiskinan yang terstruktural hagaimana tidak sebab anak anak vang bodoh dan miskin setelah lepas dari sekolah dapat dipastikan hanya akan bekerja pada sektor yang tak jauh dari keluarganya,buruh pabrik, buruli toko, buruh bangunan, buruh tani atau buruh serabutan yang sangat tidak stabil dan rawan PHK sepihak dan golongan ini cenderung menikah dari golongan serta kalangan mereka sendiri dan tentu akan menghasilkan generasi yang hampir pasti sama, sedangkan ketiga, golongan lainnya tentu berbeda, bekerja dengan gaji tinggi dan fasilitas lengkap tentu akan berpengaruh pada keturunannya, jika sudah begini siapa yang bisa