Untuk merespons pentingnya keseimbangan dalam melihat sejarah kota dan desa, elite dan massa, ada baiknya membuka kembali karya klasik Clifford Geertz tentang Mojokuto (The Social History of an Indonesian Town). Sekaligus untuk mengenang jasa-jasa beliau yang wafat 31 Oktober kemarin.


Ada ungkapan Geeertz yang mengesankan saya: "...orang perlu untuk terus mengejar "kijang" ilmiah melampaui bidang-bidang akademis yang berpagar rapat dimana margasatwa yang diburu kebetulan memasukinya." (CG, pada Agricultural Involution). Ini rasanya pas untuk diterapkan pada urban/rural studies.

Pendekatan mengejar "kijang" itu pula yang diterapkannya dalam mengkaji perubahan sosial/budaya kota Mojokuto (alias Pare, dekat Kediri) tahun 1952-1954.

Menarik, karena sebagai kota kecil tentu mewakili peralihan urban-rural. Dan saat itu Geertz juga sudah menangkap gejala sebelumnya dari dualisme: sektor formal yang diwakili sistem perkebunan, dan sektor informal yang merupakan massa pendatang dari pedesaan yang masuk ke kota, karena tak bertanah,miskin. Di antara keduanya, ada kelompok priyayi birokrat, pedagang Cina, pedagang santri.
Muzaik pengelompkan sosial itu jelas implikasinya dalam ruang geografis kota. Kelompok pengelola kebun enclave di pinggir kota, sekitar kebun dan perkantorannya. Priyayi birokrat di kompleks perumahan (gedung) dan kantornya. Kelompok pedagang Cina, di jalan utama berkelompok dengan toko dan gudangnya. Kaum santri pedagang kecil di kauman (belakang masjid), belakang pasar. Dan perkampungan padat, gubug-gubug bambu berserakan dibelakang dan di antaranya. Pola ini kelihatannya tipical, dan kok sampai sekarang tidak kunjung membaik ya (?).

Alkisah terjadilah dinamika sosial/budaya masyarakat, intra dan antar kelompok, ada upaya kompetisi dan kolaborasi dalam pergulatan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Tapi yang terjadi justru transisi yang berkepanjangan (sampai kini?). disini Geertz mengenalkan istilah “kota hampa” (hollow town) untuk menggambarkan suatu masyarakat kota yang tidak terintegrasi dan hanya merupakan kombinasi dari komunitas-komunitas kecil. Karena sistem lokal Majokuto itu (seperti daerah umumnya) tak pernah lepas dari pengaruh "dunia luar."

Geertz memberi latar belakang Mojokuto dan hinterland nya dengan sejarah dari mulai tumbuhnya kota yang dimulai dengan eksodus pasca perang Diponegoro (1830) dari Jawa Tengah ke timur. Lalu masa Keemasan Perkebunan (tebu, gula), yang menguntungkan selain Belanda juga pedagang Cina, birokrat daerah (perantara), petani pribumi pemilik lahan, serta buruh tani yang numpang hidup. Selanjutnya masa depresi ekonomi (pra 1930), jatuhnya harga gula di pasar dunia, meruntuhkan sistem ekonomi kebun tebu, dan tak pernah pulih lagi. Lalu masa penyesuaian yang terputus dengan masuknya Jepang, lalu perang kemerdekaan. Era kemerdekaan ditandai dengan kekuasaan yang kian terpusat. Sehingga kota Mojokuto mengalami transisi sepanjang masa, tanpa sempat menata hubungan sosial antar kelompok dan menyelasaikan persoalan ekonomi, sosial, budaya secara lokal.

Karena selalu menjadi "korban" dari ide, nilai-nilai, situasi dan tekanan dari luar. Bagaimana nasib kota-kota kecil seperti Mojokuto di era otonomi daerah? Dalam situasi dimana sistem ekonomi lokal hanya menjadi outlet eknomi global; konflik lokal tidak diselesaikan komunitasnya tapi menjadi konsumsi politik nasional? Akankah hollow-towns itu menjadi solid-town yang kompak dan mandiri?